Perkumpulan Japesda

Kenapa Pengeboman Ikan di Perairan Togean Masih Marak Terjadi?

Darto Kaili (40) nelayan gurita yang juga merupakan anggota kelompok Kogito sedang melakukan patroli di area penutupan sementara lokasi tangkap gurita. Rabu (19/12/2025). Foto: Wa Ode Saritilawa/Japesda.

TOGEAN – Di bulan Desember 2025 ini, nelayan di Perairan Togean kembali mendapati praktek pengeboman ikan di Desa Kadoda, Kecamatan Talatako, Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah. Pelaku disinyalir merupakan warga Desa Kadoda.

Praktek penangkapan ikan dengan bahan peledak yang ditemukan nelayan setempat dalam kurun waktu enam bulan terakhir sudah terjadi dua kali. Pada bulan Juli 2025, dan baru-baru ini pada pertengahan Desember 2025. Keduanya sama-sama dilakukan dalam lokasi tangkap gurita yang sedang ditutup oleh nelayan gurita selama tiga bulan. 

Iwan Kusani (49) yang merupakan anggota kelompok Kogito, mengaku belum lama ini mendapati seseorang  yang beraktifitas di dalam kawasan yang ditutup. Saat itu, Iwan tengah melakukan patroli  rutin di dalam area penutupan lokasi tangkap gurita. Saat perahu miliknya melintas di perairan Dambulalo,-salah satu lokasi yang ditutup sementara,-terlihat ada perahu yang berada di dalam kawasan.

“Ada satu perahu, dan ada yang sedang panen ikan kejadianya masih pagi, sekitar jam 10,” kata Iwan saat ditemui di Pulau Papan, Rabu, 17 Desember 2025.

Ia menduga kuat, mengapungnya ikan-ikan di atas permukaan air laut disebabkan oleh ledakan dari bom yang dilempar ke dalam air. Ia hanya mengamati aktivitas yang dilakukan oleh terduga pelaku pengeboman kurang lebih selama 10 menit, dengan jarak sekitar 400 meter dari lokasi pengeboman.

“Saya hanya pantau dari jauh. Tidak sempat juga ambil foto karena tidak bawa HP. Sengaja saya tidak tegur kerana kalau saya tegur pasti berkelahi, itu yang saya hindari jangan sampai berkelahi,” timpalnya.
Penggunaan bom ikan dilarang tegas oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU Perikanan), khususnya Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 84, yang melarang penggunaan alat dan metode merusak seperti bahan peledak, serta mengancam pelaku dengan pidana penjara hingga 5 tahun dan denda hingga Rp2 miliar. Selain itu, UU Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.

Darto sedang melakukan patroli di Perairan Kadoda, Togean, Sulawesi Tengah. Rabu (19/12/2025). Foto: Wa Ode Saritilawa/Japesda.

Penguatan Kelompok Kogito

Fasilitator Japesda di Desa Kadoda, Titania Aminullah mengatakan, alasan utama nelayan menggunakan bom atau bahan beracun dalam kegiatan menangkap ikan adalah untuk meningkatkan pendapatan dalam memenuhi kebutuhan keluarga.

Tidak bisa dipungkiri, meskipun Pulau Papan Desa Kadoda masuk dalam destinasi wisata bahari yang banyak dikunjungi pelancong baik dalam maupun luar negeri, namun belum bisa mendorong pendapatan ekonomi masyarakat setempat.

“Warga disini masih bergantung pada hasil saat melaut, tergantung pada ikan yang didapat, atau gurita yang berhasil ditangkap, dan harga jual,” terang Titania.

Perempuan 27 tahun itu selalu menekankan kepada anggota kelompok Kogito dan nelayan di luar kelompok untuk tidak melakukan aktivitas destructive fishing.  

“Saya selalu sosialisasi, kenapa kita harus jaga laut. Lalu, dampak jangka panjang dari kerusakan terumbu karang apa,  selain itu juga ancaman hukuman jika ditangkap pihak berwajib. Saya juga mengusulkan pembentukan Peraturan Desa (Perdes)  untuk pengelolaan perikanan berkelanjutan,” pungkasnya.

Saat mengunjungi lokasi penutupan, Darto Kaili (40) terlihat sedang melakukan pengawasan di perairan Kadoda. Ketika ditemui ia mengaku lebih banyak mendapati pelanggar yang mencari gurita di dalam kawasan yang ditutup.

“Kalau saya, paling banyak ketemu orang yang mencari gurita. Saya langsung temui lalu saya ajak bicara, terus saya kasih tahu kalau saat ini masih penutupan sementara. Saya kasih tahu juga kalau penutupan ini tidak lama, kalau sudah dibuka baru boleh mencari gurita di sini,” terang Darto. 

Darto menambahkan, ketika ditemukan adanya nelayan yang melanggar seperti penggunaan bahan peledak, atau mencari gurita di dalam kawasan yang ditutup, dan pelanggaran lainya harus selalu dilaporkan. Laporan tersebut disampaikan kepada ketua kelompok dan fasilitator Japesda.

“Kalau ada pelanggaran begitu harusnya ada bukti foto, tapi karena keterbatasan tidak ada HP untuk ambil foto, jadi kami hanya membuat menyampaikan apa yang kami lihat secara lisan saja,” pungkasnya.

Sementara itu, ketua kelompok Kogito sekaligus ketua pokmaswas, Sardin Matorang mengungkapkan, ia selalu melaporkan setiap kejadian yang dijumpai oleh kelompok nelayan Kogito.

“Kalau ada laporan soal bom ikan, saya selalu update ke grup Pokmaswas se-Sulawesi Tengah. Karena kewenangan kami hanya sebatas patroli dan tidak bisa melakukan penindakan, jadi hanya laporan saja yang saya teruskan, harapan hal ini bisa ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang berwajib,” jelas Sardin.

Nelayan serta anggota Kelompok Kogito di Desa Kadoda, Kecamatan Talatako, Kabupaten Tojo Una-una bahu membahu mendirikan pos pengawasan di dalam kawasan area tangkap gurita yang sedang ditutup. Rabu (19/12/2025). Foto: Wa Ode Saritilawa/Japesda.

Pendapatan Nelayan

Pendapatan nelayan tradisional seperti Iwan bersifat tidak pasti. Berbeda dengan petani atau pedagang yang keuntungannya bisa diprediksi. Cuaca menjadi salah satu faktor penentu dari hasil tangkapan saat melaut.

“Disini ada tiga musim. Musim angin barat, angin timur, dan pancaroba. Angin barat ini yang tidak bisa diprediksi dan ganas gelombang tinggi. Sangat beresiko jika melaut di musim angin barat, begitu juga pancaroba, dan angin timur. Kadang satu hari ada hasil,  kadang tidak ada. Kalau musim angin kencang, dan ombak saya tidak melaut,” Jelas Iwan.

Jauh sebelum ditetapkan sebagai Taman Nasional Kepulauan Togean pada tahun 2004 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 418/Menhut-II/2004, praktek penangkapan ikan dengan menggunakan bom ikan sudah dikenal oleh nelayan di perairan Togean.

“Dulu sebelum ada larangan pakai bom sekitar tahun 70-an saat saya masih kecil, orang-orang disini sudah pakai bom, itu lebih cepat untuk dapat ikan. Sekarang sudah tidak boleh pakai bom ikan, bisa masuk penjara,” kata salah perempuan nelayan yang enggan disebutkan namanya, Rabu, 19 Desember 2025.

Pernyataan Titania Aminullah, mengenai kesejahteraan nelayan sejalan dengan temuan dalam jurnal penelitian yang dilakukan oleh Deshinta Vibriyanti dari Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),-sekarang BRIN,-yang dipublikasikan pada 2019. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa tingkat kesejahteraan nelayan sangat bergantung pada hasil tangkapan, karena besarnya tangkapan secara langsung memengaruhi pendapatan yang mereka peroleh untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Dengan demikian aktivitas destructive fishing seperti penggunaan bom sudah seharusnya menjadi perhatian serius  pemerintah. Bukan hanya fokus pada penegakan hukum tetapi juga mengentaskan kemiskinan struktural. Perlu terobosan baru sebagai upaya meningkatkan dan mendorong pendapatan nelayan kecil di tengah keterbatasan yang mereka rasakan. Selain itu, penguatan di bidang pendidikan berbasis kearifan lokal juga sangat dibutuhkan sebagai upaya memberikan penyadartahuan kepada anak-anak sekolah dalam pelestarian ekosistem laut.*

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *