Tampak barang perabotan berserakan di salah satu rumah warga korban banjir di Desa Dudeulo. Foto: Findriani Mahmud
Japesda- Sudah sepekan sejak banjir bandang menerjang Desa Dudewulo dan Desa Telaga di Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato pada 7 april kemarin, kini warga masih kesulitan mengakses air bersih.
Banjir Bandang di Desa Dudewulo dan Telaga, merupakan banjir yang kali kedua menerjang wilayah tersebut. Sebelumnya pernah terjadi pada 2019 silam.
Menurut pengakuan warga, banjir bandang akibat dari aktivitas pertanian sawit milik perusahaan di wilayah hulu. Kemudian intensitas hujan tinggi menyebabkan daerah aliran sungai tidak mampu menampung volume air. Hasilnya air sungai meluap dan merendam dua desa hingga ketinggian satu meter lebih.
Banjir tahun ini menjadi yang paling besar dari banjir sebelumnya pada 2019. Menurut warga, sebelum ada aktivitas pertanian sawit oleh perusahaan tidak pernah ada kasus banjir hingga meluap ke pemukiman warga.
“Tahun lalu tidak sebesar ini. Lantara perusahan sawit, banjir ini,” celetuk Suwarni Tahir warga di Desa Dudewulo.
Akibat banjir, Suwarni yang juga pemilik kios perabotan mengalami kerugian hingga mencapai 20 juta lebih. Ia mengatakan bahwa banyak barang dagangannya hanyut terbawa arus banjir.
Kepala Desa Dudewulo, Sulpan Pakaya mengungkapkan, terdapat 400 lebih Kepala Keluarga (KK) dan 1.400 lebih jiwa terdampak, termasuk ada 370 rumah terendam banjir luapan sungai. Data yang diungkap Kepala Desa Dudewulo tidak termasuk data warga terdampak banjir Desa Telaga dan beberapa desa lainya.
“Ada 4 rumah rusak ringan karena dapur rumahnya hanyut dan ada 1 kios rusak parah,” sebut Sulpan.
Belajar dari banjir yang melanda desanya, Sulpan berharap agar pemerintah daerah dan pemerintah pusat dapat melakukan normalisasi atau pelebaran aliran sungai.
Menyikapi banjir bandang itu, Sri Dewi J, Biahimo, Sekretaris Jaring Advokasi Pengelolaan Sumberdaya Alam (JAPESDA) mengimbau Pemerintah Kabupaten Pohuwato dan Provinsi Gorontalo sesegera mungkin melakukan langkah-langkah mitigasi.
“Kami perkumpulan JAPESDA menyatakan empati kami terhadap korban bencana dan mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan yang lestari,” kata Dewi.
Banjir terjadi akibat dampak dari perubahan lingkungan baik itu perubahan diakibatkan oleh alam maupun oleh manusia. Dewi menjelaskan, pemerintah harus membuat kebijakan dan program yang berpihak pada lingkungan untuk mencegah banjir yang lebih parah di kemudian hari.
“Misalnya dengan memperkuat untuk melindungi daerah-daerah tangkapan sungai dan melakukan konservasi terhadap lahan-lahan tangkapan air hujan,” kata Dewi.
Apalagi di Gorontalo menurut Dewi, banyak aktivitas pertanian warga di lahan kemiringan, korporasi pertanian monokultur yang tidak ramah iklim serta pembukaan-pembukaan lahan hutan baru menjadi ancaman terhadap bencana-bencana yang akhirnya berdampak kepada warga.
“Pemerintah harus meminimalisir praktik pertanian tidak ramah lingkungan dan membatasi okupasi lahan hutan oleh perusahaan pertanian monokultur” tutup Dewi.