Japesda

Banjir dan Longsor bukan bencana alam

Japesda- Ini adalah hari kedua sejak saya berdiam diri di dalam kamar indekos setelah curah hujan tinggi di Rabu, 10 Juli 2024 yang hampir menenggelamkan teras-teras kosan saya. Malam itu air hampir menyentuh lutut, PAM air mati, tidak ada air untuk buang air besar apalagi buang air kecil, di susul subuhnya lampu juga ikut-ikutan mati. Paginya air sudah surut, namun semua grup WhattsApp ternyata penuh dengan kiriman video di rumah masing-masing yang berdampak banjir, hingga masuk sampai ke ruang tamu dan beberapa di antaranya merendam hampir keseluruhan bagian rumah.

Sabtu, 6 Juli 2024, beberapa wilayah di Gorontalo diguyur hujan deras, kanal-kanal air meluap karena tak mampu menampung debit air yang meningkat dengan cepat. Hujan disertai angin kencang mengakibatkan beberapa wilayah banjir, pohon tumbang di jalanan dan kerusakan terparah terjadi di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, tepatnya di Pertambangan Rakyat Motomboto Suwawa. Tidak hanya hari itu, karena beberapa hari selanjutnya hujan datang dengan intensitas curah hujan yang hampir sama.

Pertambangan Rakyat

Pertambangan Rakyat  Motomboto terletak di Desa Tulabolo Timur, Kecamatan Suwawa, Bone Bolango. Pertambangan ini awalnya adalah konsesi dari perusahaan PT. Gorontalo Mineral (selanjutnya akan disingkat PT. GM) di tahun 1975 dan mulai dibuka menjadi pertambangan rakyat di awal tahun 1994. Saat ini Pertambangan Rakyat dan PT. GM hanya dibatasi dengan lintasan Sungai Bone, dalam artian saling berseberangan.

Memiliki luas sebesar 20 Ha, kandungan emas yang terletak di pertambangan rakyat tersebut masuk ke dalam kategori kandungan emas tinggi sebesar 90-95%. Tak heran jika banyak warga yang berbondong-bondong untuk melakukan aktivitas pertambangan di area tersebut. Bukan hanya masyarakat setempat, tambang ini juga diramaikan oleh berbagai masyarakat dari desa lain di Provinsi Gorontalo dan pendatang dari berbagai daerah di luar Provinsi Gorontalo. Setelah curah hujan yang tinggi di Sabtu, 6 Juli 2024, beberapa titik bor di tambang ini amblas dan longsor.

Adan Gumohung adalah salah satu penambang di Tambang Rakyat Motomboto, Adan tercatat berdomisili Bolaang Mongondow Utara dan telah melakukan aktivitas pertambangan sejak tahun 2021, atau sudah tiga tahun. Menurut Adan, longsor yang terjadi dipertambangan saat ini bukanlah hal yang baru,  sebelumnya hal yang sama pernah terjadi di tahun 2022, namun korban jiwa tidak sebanyak di tahun ini, “dulu pernah di Tahun 2022, tapi tidak parah 2024 ini,” Adan saya wawancarai melalui via pesan WhattsApp karena di hari Selasa, 9 Juli 2024 dirinya baru saja sampai di kediamannya di Bolaan Mongondow Utara.

Ketika musim hujan atau hujan berlangsung selama berhari-hari, Adan memilih untuk tidak bekerja (menambang), menurutnya area pertambangan Rakyat Motomboto menjadi lebih beresiko longsor,

“biasanya daerah tambang jadi lebih rawan longsor kalau musim hujan,” tulisnya.

Jika dilihat lagi, di tahun 2020 tepatnya Jumat, 3 Juli 2020, hal yang sama pernah terjadi, curah hujan yang tinggi memicu longsor dan putusnya jembatan Tulabolo, ini diakibatkan luapan air dari Sungai Bone membawa material longsor tambang. Kejadian saat itu menelan satu korban jiwa. Minggu 8 April 2023, longsor juga terjadi di lokasi yang sama, namun hal ini tidak dipicu oleh curah hujan, melainkan galian tanah yang amblas dan menimbun penambang yang saat itu sedang bekerja. Sebanyak 4 orang merenggang nyawa dikejadian kala itu. Jika ditarik lebih jauh lagi, menurut Dewi Biahimo, Sekretaris Umum Japesda, longsor di area pertambangan sudah beberapa kali terjadi,

“hal yang sama seingat saya sudah beberapa kali terjadi, dulu pernah di tahun 1993 atau 1994 seingat saya pernah terjadi hal yang sama tapi waktu itu musim kemarau, pernah juga di tahun 1998, di tahun 2000 pernah juga kejadian hal yang sama yang menelan beberapa jiwa.”

Tambang Rakyat Motomboto memiliki delapan titik bor aktif, titik-titik ini dinamai sesuai dengan lokasi dan kapan titik ini pertama kali dibuka. Delapan titik ini diberi nama: titik bor 1, titik bor 3, titik bor 9, titik bor 15, titik bor 17, titik bor 18, titik bor 19 dan titik bor gergaji. Ketika terjadi curah hujan yang tinggi di Sabtu, 6 Juli 2024, titik bor 1, titik bor 3, titik bor 17 dan titik bor 18.

Hingga saat ini ketika saya menulis laporan ini di Sabtu, 13 Juli 2024, tercatat Tim SAR Gabungan telah mengevakuasi sebanyak 283 korban jiwa yang, 27 jiwa meninggal dunia dan 15 jiwa masih dalam proses pencarian, namun pencarian dihentikan karena beberapa alasan. Alasan ditutupnya proses evakuasi korban adalah tidak adanya tanda-tanda korban akan ditemukan dan lokasi tambang yang sulit untuk diakses.

Luapan air dan banjir

Sabtu, 6 Juli 2024, Gorontalo diguyur hujan hampir seharian, esoknya air mengenang beberapa daerah, di antaranya:  Kecamatan Dumbo Raya mencakup dua kelurahan yaitu Kelurahan Bugis dan Talumolo, Kota Gorontalo; Beberapa desa di Kabupaten Bone Bolango, Botupingge, Bone, Bone Bolango, Kabila Bone dan Bolango utara.

Rabu di jam 11.00 pagi lebih sedikit, ketika sedang menyantap nasi kuning di depan jalan, ibu penjual nasi kuning atau akrab saya sapa ibu Warni, tampak gelisah. Saat itu langit mulai menggelap dan gerimis mengetuk payung warna-warni miliknya.

“Kenapa Ibu?” tanya saya.

“So gelap nou, semoga tidak mo ujan poli ey, (sudah gelap, semoga tidak akan hujan lagi),” keluhnya.

*Nou (panggilan untuk perempuan di Gorontalo)

Malam sebelumnya kedai makan milik ibu Warni terkena ranting pohon trembesi yang jatuh tertiup angin, pohon besar ini jatuh menimpa bagian depan rumah warga dan ibu Warni untungnya hanya terkena imbas ranting. Setelah memakan nasi kuning dan berbincang sedikit, langit semakin gelap saya bergegas pulang ke kamar indekos saya, hari itu Rabu, 10 Juli 2024 hujan mengguyur Gorontalo sejak pagi hingga dua hari setelahnya.

Tempat tidur pengungsian, di selasar Mesjid Muhammadiyah, Desa Ilohungayo, Kecamatan Batudaa, Kabupaten Gorontalo. Senin, (15/7). Foto oleh: Ummul Uffia.

Pagi di tanggal 11 Juli 2024, air naik mulai memasuki bagian-bagian rumah warga, bendungan tidak lagi mampu menampung debit air yang terus bertambah. Di pukul 02.00 hampir menyentuh pukul 03.00 pagi, bendungan Alale yang terletak di Suwawa Tengah, Kabupaten Bone Bolango, dibuka. Imbasnya aliran air mendadak tinggi dibeberapa sungai. Menurut Djufrihard koordinator Posko Respon Bencana: NU Peduli, GUSDURian Peduli dan OMS Gorontalo, debit air yang mampu ditampung di bendungan tersebut hanya sebanyak 3 M,

“malam itu debit air dibendungan sudah mencapai 2,55 M, kalau tidak dibuka takutnya bendungan akan jebol dan akan berakibat lebih fatal lagi.”

Memasuki pukul 03.00, air naik dengan cepat merendam perkampungan dan rumah-rumah warga. Tercatat 129 desa terdampak banjir di empat Kabupaten Kota di Provinsi Gorontalo, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Boalemo dan Kota Gorontalo: Terhitung di Kota Gorontalo 48 kelurahan di sembilan kecamatan terdampak banjir, dua kelurahan di dua kecamatan juga mengalami tanah longsor. Jika dikalkulasi korban jika sebanyak 12. 061 kepala keluarga, 41. 164 korban jiwa. Satu orang meninggal dunia, 7. 086 jiwa mengungsi, serta 4.686 rumah terendam banjir. Untuk Kabupaten Gorontalo, banjir menenggelamkan 35 desa dan kelurahan yang ada di delapan kecamatan, 4. 623 rumah terendam dengan korban jiwa 21. 638 jiwa atau 6.531 kepala keluarga. Sebanyak 2. 397 jiwa mengungsi di posko-posko darurat.

Kabupaten Bone Bolango, sebanyak 42 desa dan kelurahan terendam di 10 kecamatan, dengan korban jiwa sebanyak 8. 053 jiwa atau 2. 553 kepala keluarga, dan merendam 1.821 rumah terendam. Bukan hanya banjir, kejadian longsor di pertambangan Rakyat Motomboto, di Kecamatan Suwawa Timur, menelan korban jiwa sebanyak 27 meninggal dunia, 283 jiwa selamat dan 15 jiwa korban hilang dan belum ditemukan. Terakhir di Kabupaten Boalemo, banjir merendam empat desa di satu kecamatan, dengan masyarakat berdampak sebanyak 148 kepala keluarga atau sebanyak 352 korban jiwa, dan merendam sebanyak 91 rumah. Sejauh ini tercatat 8 jembatan penghubung desa putus: Jembatan yang menghubungkan Desa Pulubala ke arah Pasar, jembatan ini putus karena luapan sungai yang membawa material sampah; 2 Jembatan Bongomeme yang menghubungkan antara Desa Upomela dan Desa Tohupa serta Jembatan yang menghubungkan Desa Tuhiyango dan Desa Otopade; Jembatan utama di Desa Limehe, Tabongo; Jembatan penghubung di Dusun I dan Dusun II Kecamatan Telaga Biru terputus karena material longsor yang terjadi di Desa Dulamayo Selatan dan Dulamayo Barat; Jembatan Alo Pohgu; Jembatan Tulabolo, Suwawa; dan Jembatan Hepuhulawa, Hutuo.

*data ini dihimpun dari laporan RRI.co.id

Della Mutia Ibrahim, salah satu anggota Japesda yang juga merasakan dampak dari banjir ini. Malam itu Della memilih untuk menitipkan motornya di Kantor Japesda karena hujan berlangsung terus menerus, saat itu banjir sudah mengenang bagian parkiran. Sampai di rumah di Kelurahan Dembe II, Kecamatan Kota Utara, Kota Gorontalo, sekitaran pukul 21.00 Wita, Della dibuat kaget karena rumahnya telah digenang air setinggi lutut orang dewasa. Della dan keluarga lalu mengevakuasi beberapa barang dan mengungsi ke lantai 2 rumahnya.

Saat terjadi banjir, Della mengaku kesulitan dalam mengakses air bersih, di sekitaran rumahnya, air bersih hanya berada di lokasi pengungsian, itupun kondisinya kamar mandi pengungsian hanya memiliki satu kamar mandi, ketika ingin buang air ataupun mandi, mereka harus melewati genangan air sebatas lutut, apalagi saat itu Della sedang datang bulan,

“sangat sulit untuk buang air besar, apalagi saat ini saya sedang datang bulan jadi terasa sangat repot,” ujarnya.

Tidak hanya Della, Mintriyati Djafar, perempuan yang akrab disapa Mimi ini adalah salah satu pengungsi yang saya temui di salah satu lokasi pengungsian di Desa Tabumela, Kecamatan Tilango, Kabupaten Gorontalo. Mimi adalah salah satu pengungsi dari Dusun 3 Desa Tilote, Kecamatan Tilango, Kabupaten Gorontalo. Ketika ditemui di Senin, 15 Juli 2024, kondisi rumah ibu Mimi masih tergenang hingga dada orang dewasa.

Malam itu Mitriyanti tidak merasa siaga sama sekali karena sebelumnya di tahun 2000 pernah terjadi banjir besar di desa tersebut, namun banjir hanya mencapai lutut orang dewasa, Mitriyanti berpikir hal yang sama akan terjadi juga malam itu, ia tidak  menduga jika malam itu Sungai Bone dan air Danau Limboto meluap dan merendam setinggi leher orang dewasa.

“Jam 2 itu saya bangun takage, ternyata air so sampe leher, saya kira tidak mo sampe bagitu (saya bangun jam 2 pagi, kaget ternyata air sudah di leher, saya pikir tidak akan sampai setinggi itu),” ujarnya, Mitriyanti mengaku saat banjir terjadi dirinya tidak lagi memedulikan barang-barang yang ada di rumahnya,

“pertama saya kase selamatkan kemari itu saya pe anak dua orang, barang-barang saya so kase tinggal, rumah saya ada kunci biar barang tidak mo kamana-mana (hal pertama yang saya lakukan adalah menyelamatkan kedua anak saya, barang-barang saya biarkan dan rumah saya kunci agar barang-barang di dalam tidak ke mana-mana).”

Kondisi Ekologis

Jauh sebelum terjadi curah hujan tinggi, Cucu Kusmayancu selaku Kepala Satiun Meterologi Kelas I Djalaluddin Gorontalo mengungkapkan bahwa sejak 1991 hingga 2020 curah hujan di Gorontalo masih dalam tingkatan yang normal, “walaupun normal tetap harus waspada jika terjadi hujan selama tiga hari berturut-turut dengan intensitas sedang hingga tinggi, karena saat ini resapan air dan daya tahan tanah (di Gorontalo) sudah tidak mampu lagi menampung jumlah air yang sebegitu banyaknya,” ujarnya di Stasiun Radio Suara Rakyat Hulondalo, Senin, 24 Juni 2024.

Menurut Cucu seharunya di minggu ke dua bulan Juli atau minggu pertama bulan Agustus, sudah memasuki pergantian musim, “peralihan musim ini akan terjadi di minggu ke dua bulan Juli atau tidak di minggu pertama bulan Agustus, itu sudah memasuki musim kemarau.”

Japesda menganggap bencana yang terjadi baru-baru ini di Gorontalo bukanlah bencana alam yang notabenenya harus terjadi seperti itu, ada pemicu-pemicu yang mengakibatkan air hujan dan daya resap tanah di Gorontalo tidak lagi bisa menampung banyak air.

Jika kita telaah bersama secara topografi, Provinsi Gorontalo berbentuk cekungan yang agak menyerupai mangkok dan dikelilingi pegunungan secara melingkar. Dibagian kawasan hulu banyak terjadi pengalifungsian lahan untuk peruntukan tanaman monokultur seperti jagung, sawit dan tanaman industri. Sebanyak 27 Daerah Aliran Sungai (DAS) dari 520 DAS mengalami kerusakan akibat pembangunan infrasturktur yang tidak memikirkan pertimbangan ekologis. Dari data yang dihimpun oleh Simpul Walhi Gorontalo, tercatat sebanyak 4.248 Ha luas tanah yang telah mengalami defortasi lahan beberapa di antaranya adalah Dulamayo Selatan, Molosifat Utara, Marisa, Iloheluma, Kayu Mera, Bangio, Olele, Bondaraya, Dataran Hijau, Kemiri, Tulabolo dan beberapa desa lain yang berada pada area hulu.

Salah satu pengalifungsian lahan yang paling besar diperuntukkan untuk tanaman jagung. Tanaman monokultur berakar serabut yang tidak mampu menyimpan cadangan air banyak. Dari data BPS di tahun 2023, bukaan lahan untuk pertanian jagung sebanyak 113572.6 Ha, Jagung oleh pemerintah dianggap sebagai salah satu upaya penuntasan kemiskinan di masyarakat karena perawatan yang relatif mudah dan jangka panen yang relatif cepat. Namun mirisnya, jagung hingga saat ini ditanami di lahan-lahan miring, di mana lahan miring harusnya ditanami dengan tanaman berakar kuat.

Menurut Dewi Biahimo selaku Sekertaris Umum Japesda, perlu adanya kesadaran mengenai teknik pertanian yang dipraktekkan petani saat ini, menanam multikultur menurut Dewi sebenarnya sudah dilakukan oleh petani jauh sebelum jagung masuk dan menginvasi lahan pertanian, sayangnya teknik tanaman campur ini tidak lagi dilakukan,

agroforestry sebenarnya bukan praktek baru, tapi kita memilih untuk memotong pohon-pohon di lahan miring karena pohon tersebut mengganggu produktivitas jagung, kita bukan hanya kehilangan daya tahan tanah terhadap erosi, tapi kita juga kehilangan sumber-sumber pangan kita yang beragam, hutan juga kehilangan keanekaragaman hayati, pada akhirnya kita semua tergantu pada profit perusahaan, sehingga masyarakat tidak lagi mampu mencukupi dirinya sendiri secara komunitas.”

Sayangnya, pertimbangan mengenai perbaikan bentang alam tidak masuk dalam pemulihan pasca bencana, hal ini sejalan dengan Nurain Laporo Selaku Direktur Umum Japesda, Nurain sangat menyanyangkan bahwa pihak pemerintah tidak melakukan mitigasi lingkungan dan ekologi setelah mengalami banjir berkali-kali,

“Sangat disayangkan adalah mitigasi lingkungan dan ekologis tidak dianggap sebagai investasi terhadap sumberdaya alam dan daya dukung lingkungan, yang dilihat hanya hal-hal yang bersifat nilai seperti emas.”

Maraknya perizinan perusahaan sebagai hutan tanaman produksi tentunya menjadi salah satu bentuk deforestari secara terorganisir oleh pemerintah. Apalagi saat ini, Provinsi Gorontalo sedang gencar-gencarnya dalam melakukan ekspor hasil bumi ke luar negeri. Menurut Dewi hal yang perlu diubah sebenarnya adalah proses perencanaan, sudah banyak upaya-upaya yang dilakukan, “ini sudah berulang-ulang disuarakan, kita bikin proposal, kita bikin pertemuan, tapi berapa banyak dari pespraktis mengenai agroforestry yang kita bilang dan direplikasi oleh pemerintah?”

“Minimal air itu walaupun dia berlimpah banyak ketika musim hujan, dia tau ada pohon yang nyerap dia,” lanjutnya lagi.

Masalah Kesehatan

Penyakit yang diderita pengungsian, gatal-gatal yang diakibatkan oleh infeksi jamur, Desa Tilote, Kecamatan Tilango, Kabupaten Gorontalo. Senin, (15/7).

Ketika saya mengunjungi salah satu posko pengungsian di Desa Tilote, Kecamatan Tilango, Kabupaten Gorontalo tepatnya di Posko Pengungsian SDN 8 Tilango, saya dihampiri oleh seorang wanita lansia yang langsung melepaskan sendalnya, “napa torang pe kaki so gatal-gatal nou, so kalu-kaluhe so tida m ilang-ilang ini gatal uti (kaki kami sudah gatal-gatal parah, gatal terus terasa dan sulit hilang),” ujarnya sembari mengangkat ujung daster jingga yang ia gunakan. Ia adalah ibu Sulastri, rumahnya terendam air setinggi pinggang orang dewasa, banjir yang membawa buangan sampah sudah hampir empat hari ia lalui terus menerus membuat kakinya terserang kutu air atau tinea pedis, hingga mengalami infeksi.

Senin, 15 Juli 2024, saya bertemu dengan Khusnul Khatimah Abdullah, salah satu apoteker muda dari Ikatan Apoteker Indonesia yang turut ikut langsung dalam melakukan pengecekan kesehatan di posko-posko pengungsian. Menurut Khusnul, sejauh ini masalah gatal-gatal, flu dan juga batuk menjadi masalah utama yang sering mereka temui di lapangan,

“gatal-gatal biasanya diakibatkan karena  masyarakat terlalu sering berendam di air banjir yang notabenenya adalah air yang sudah terkontaminasi dengan sampah, untuk flu dan batuk bisa jadi diakibatkan karena di posko pengungsian, pengungsi tidak mendapatkan tempat tidur yang layak.”

Lebih lanjut, Winendy Deo Haryanto seorang dokter umum yang pernah mengabdikan diri di RSUD Dr. M. M. Dunda Limboto menjelaskan bahwa ketika banjir datang, tentunya banyak permasalahan yang akan ditemui oleh masyarakat, “masalah awal tentunya kesulitan dalam mendapatkan air bersih, kebersihan dan sandang-pangan-papan yang layak” ujarnya melalui pesan suara, Sabtu (13/7).

Lebih lanjut Winendy menjelaskan bahwa potensi penyakit lain seperti malaria akibat genangan-genangan air pasca banjir, tercampurnya air banjir dengan tinja manusia ataupun bangkai hewan akan menyebkan masalah kesehatan serius seperti diare, infeksi pada luka, hingga leptospiresis (infeksi penyakit yang diakibatkan oleh bakteri air seni hewan). Tidak hanya itu, menurut Winendy anak-anak juga penting untuk diberi dampingan psikologis agar menghilangkan perasaan traumatik yang terjadi ketika bencana.

“Untuk anak-anak tentunya hal ini akan membangkitkan perasaan traumatis makanya penting untuk memberikan dampingan psikolog pasca bencana.” **

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *