Japesda

Menilik Praktek Pertanian Cerdas Iklim di Desa Ilomata

Para petani Desa Ilomata mencangkul tanah untuk pembuatan teras sering. Kamis, (8/02). Foto: Ivol Paino

Japesda – Kamis pagi, 8 Februari 2024. Satu per satu petani laki-laki dan perempuan mulai berkumpul. Masing-masing dari mereka membawa alat-alat pertanian. Suasana tiba-tiba menjadi ramai. Para petani itu mulai bersiap-siap. Lokasinya di Desa Ilomata, Kecamatan Bolango Ulu, Kabupaten Bone Bolango.

“Mari jo, mari jo somo mulai,” teriak Sahara Abas, salah seorang petani.

Sahara adalah salah satu petani perempuan di Desa Ilomata. Saat ini ia bersama dengan suaminya menggandalkan pertanian jagung dan pembuatan gula merah sebagai penunjang perekonomian keluarga.

“Biasanya bikin gula merah, lalu jual ke kota. Kalau di sini, siapa yang mau beli?” ungkapnya.

Berdasarkan data Japesda, pada tahun 2023, komoditi utama yang ada di Desa Ilomata, sebagian besar didominasi oleh tanaman jagung, kemudian disusul pohon nira sebagai komoditi terbanyak kedua.

Menurut Zainudin Yusuf, fasilitator Japesda di Desa Ilomata, jagung adalah salah satu tanaman yang tidak mampu menyerap air ketika hujan deras datang. Jagung itu akarnya lemah, apalagi dengan cara pembukaan lahan jagung yang dibuka dengan cara dibakar, lama-kelamaan struktur tanah tidak akan subur lagi. Alhasil tanah akan semakin tipis dan berbatu.

“Cara mengatasi ini biasanya petani akan mencari dan membuka lahan pertanian jagung yang baru. Begitu terus-menerus,” kata Zain.

Untuk mengatasinya, Japesda mengajak Wahyudin Hasan, salah satu petani yang sukses menerapkan pertanian tumpang sari pada lahan pertaniannya, mencoba memperkenalkan masyarakat Desa Ilomata dengan gaya pertanian cerdas iklim yang memanfaatkan lahan miring.

Lahan Percontohan yang menggunakan metode teras sering. Sabtu, (10/02) Foto: Ivol Paino

Pertanian cerdas iklim ini mengandalkan teknik natural vegetative strip, sistem pertanian intercroping dan agroforestry untuk lahan-lahan sekitaran hutan, mengingat Desa Ilomata adalah desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW).

Pertanian cerdas iklim ini diperkenalkan dengan cara menanam satu lahan dengan persiapan yang matang. Di mana lahan tersebut akan dibuatkan denah terlebih dahulu, lalu dibuatkan teras. Pembuatan teras ini dilakukan tergantung dengan berapa luas lahan yang akan ditanami. Selanjutnya, setelah pembuatan teras lalu dilakukan pengukuran. Pengukuran ini dilakukan untuk memberikan kesesuaian jarak tanam dengan denah yang telah disediakan.

“Langkah awal yaitu planning atau perencanaan dulu, lalu survey luas area. Dengan begitu kita bisa hitung kesesuaian dengan topografi yang ada. Kita bisa ukur berapa jarak teras sering-nya. Kedua membuat denah. Denah harus jelas agar kita bisa lihat jarak tanamnya jangan sampai nanti tanaman tumpang sari jadinya tumpang tindih. Tanaman ini juga kita sesuaikan agar nantinya saling mendukung,” ucap Ka Pulu, panggilan akrab Wahyudin Hasan.

Setelah persiapan selesai, langkah selanjutnya adalah penanaman sesuai dengan jarak tanam yang telah ditentukan. Pertanian cerdas iklim dilakukan dengan teknik tumpang sari, di mana pada proses penanaman di satu lahan terbuka tidak hanya menanam satu jenis tanaman saja, melainkan ditanami dengan berbagai jenis tanaman. Tanaman ini harus dipilah dengan baik sehingga ketika bertumbuh akan saling mendukung.

Ishak Rauf adalah salah satu petani Desa Ilomata yang mau menjadikan lahannya sebagai lahan percontohan. Luas lahan milik Ishak sebesar 5000 m2 dengan kontur miring. Lahan ini sesuai kesepakatan bersama dibuatkan lima teras, di mana teras-teras ini berfungsi untuk perkembang tanaman nantinya. Bagian teras diukur dengan jarak masing-masing delapan meter dan akan ditanami tanaman tahunan yang memiliki akar yang kokoh.

“Teras itu fungsinya meminimalisir terjadinya longsor, memperpanjang daerah resapan air dan memperpendek kemiringan lahan. Nantinya teras-teras ini akan ditanami dengan tanaman tahunan yang mempunyai akar yang kokoh,” Ujar Ka Pulu.

Gotong royong ibu-ibu petani mengangkat bibit ke lokasi lahan percontohan. Kamis (8/02) Foto: Ivol Paino

Tak hanya itu, tiap tanaman yang akan ditanam juga diukur jarak tanamnya dan dilihat kesesuaian tanaman dengan tanaman yang lain yang nantinya akan berdampingan pada lahan tersebut. Sebanyak 219 tanaman di tanam dengan masing masing jenis yang berbeda di antaranya; tanaman tahunan seperti alvokad, mangga madu, rambutan, dan pala masing-masing empat pohon dengan jarak tanaman 8 meter.

Di bagian tengah tanaman tahunan ini ada tanaman lada dengan jarak 4×4 meter yang di tanam dua pohon secara berhadapan dan diikatan pada batang tanaman gamal yang telah ditancapkan terlebih dahulu. Total ada 112 pohon lada yang ditanam pada hari itu. Selain itu ada juga pohon kopi sebanyak 64 pohon yang ditanam dengan jarak 2×4 meter, dan pisang tanduk sebanyak 27 pohon dengan jarak tanam 4×4 meter.

Menurut Ka Pulu, gaya bertanam tumpang sari ini tidak hanya memberikan manfaat pada proses panen melainkan juga akan saling mendukung satu sama lain. Sebagai contoh, pisang ditanam di samping kopi. Pisang itu bukan hanya buahnya yang bisa kita ambil dan kita jual, tapi dia juga mempunyai kandungan fosfor yang lebih tinggi dari tanaman lain sehingga tanaman di sekitarnya seperti kopi akan lebih ternutrisi. Tak hanya itu, struktur tanah juga semakin lama semakin membaik.

“Mungkin biasanya petani hampir seluruhnya memakai pupuk non-organik, dengan adanya tumpang sari ini, mungkin penggunaan pupuk non-organik bisa dikurangi menjadi 30% dan lama kelamaan tidak lagi digunakan karena tanahnya sudah membaik dan subur. Selain itu hewan-hewan penyubur tanaman juga akan datang, sehingga tumbuhannya jadi berbuah lebih baik,” jelas Ka Pulu.**

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *