Peraturan Presiden (PP) Nomor 64 Tahun 2021 Tentang Badan Bank Tanah mengundang banyak polemik dikalangan masyarakat. Beberapa lembaga masyarakat menganggap, PP Bank Tanah dapat merugikan masyarakat, bahkan dapat memperburuk masalah-masalah ketimpangan tanah di kalangan masyarakat kecil.
Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Jaring Advokasi Pengelolaan Sumberdaya Alam (JAPESDA), Akademisi Universitas Bina Taruna (UNBITA) Gorontalo Misbahudin Jaba mengatakan PP 64 merupakan peraturan turunan dari Undang-Undang Cita Kerja atau Omnibus Law.
“Kehadiran PP 64 tahun 2021 ini tidak lain bersumber dari pasal 135 Undang-Undang Nomor 11 Cipta Kerja. Jadi di setiap kebijakan-kebijakan ada turunannya.” Kata Misbahudin yang juga Dosen Kebijakan Publik Kampus UNBITA, minggu (12/23).
Misbahudin Jaba (Sebelah kiri gambar) dan Arif Mahfudin Ibrahim (tangah) pada diskusi membahas PP 64 Tahun 2021 Tentang Badan Bank Tanah di kantor Jaring Advokasi Pengelolaan Sumberdaya Alam (Japesda), Minggu 12 Maret 2023. Foto: Della Mutia Ibrahim.
Pada dasarnya, jelas Dosen Kebijakan Publik UNBITA bahwa setiap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah baik itu PP 64 diperuntukan untuk pembangunan kesejahteraan masyarakat. Namun lembaga masyarakat dan kelompok petani menganggap PP 64 Tahun 2021 institusional dan tidak berpihak pada petani.
“Berdasarkan banyak pandangan PP Bank Tanah ini memang memiliki orientasinya untuk beberapa kelompok kepentingan,” sebut Misbahudin.
Pembentukan lembaga Bank Tanah dimaksud dalam PP 64 Tahun 2021 diperuntukan khusus dalam mengelola tanah, yang bertujuan memberikan ketersediaan tanah. Lembaga tambahan itu juga memiliki fungsi sebagai perencanaan, perolehan tanah, pengadaan tanah, pengelolaan tanah, pemanfaatan tanah dan pendistribusian tanah.
Tanah yang dikelola oleh Bank Tanah yang disebutkan dalam pasal 6 peraturan presiden itu merupakan tanah yang ditetapkan oleh pemerintah maupun tanah dari pihak lain. Tanah yang dimaksud adalah tanah bekas hak, kawasan dan tanah terlantar, tanah pelepasan kawasan hutan, tanah timbul, tanah hasil reklamasi, tanah bekas tambang, tanah pulau-pulau kecil, tanah yang terkena kebijakan perubahan tata ruang dan tanah yang tidak ada penguasaan di atasnya.
Praktisi Perhimpunan Pengacara Indonesia (PERADI) Arif Mahfudin Ibrahim mengatakan dalam PP 64, yang menjadi persoalan adalah bagaimana soall tanah yang dikelola oleh masyarakat adat dalam peraturan itu, akan tergerus atau tidak? Padahal tanah adat masih menjadi permasalahan yang sampai dengan saat ini masih sulit mendapatkan kepastian hukum, sehingga hadirnya PP 64 dikhawatirkan akan menjadi masalah baru dan akan memperburuk.
“Kalau lihat dari fungsi Bank Tanah, maka Bank Tanah akan mengolah tanah-tanah itu,” Kata Arif yang juga dosen pengajar UNBITA.
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang juga peraturan serupa dengan PP 64, mengatur tentang perolehan atas tanah didalamnya tentang hak milik, hak pengelolaan, hak guna usaha (HGU) dan hak guna bangunan (HGB). Arif mengatakan, jika melihat diagram peraturan yang ada maka ada tiga klasifikasi kelompok yang diatur, diantaranya masyarakat, swasta dan pemerintah.
Untuk memastikan masyarakat terhindar dari masalah kepemilikan tanah, Arif menjelaskan bahwa pemerintah sudah membuat Program Pengurusan Tanah atau Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona). Dalam Prona masyarakat diminta mendaftarkan tanah-tanah mereka dengan harapan menata dan mengatur kepemilikan tanah.
Walaupun penataan kepemilikan tanah lewat program Prona dilakukan faktanya masih terjadi konflik tumpang tindih antara kepemilikan tanah perorangan dan kepemilikan tanah swasta.
“Sedangkan yang memiliki sertifikat bermasalah. Tumpang tindih sertifikat itu banyak, kadang hak milik tumpang tindih dengan HGU kadang hak milik tumpeng tindih dengan HGB. Yang punya milik perorangan berbenturan dengan yang punya suwasta” kata Arif.
Dengan adanya PP 64 tentang Badan Bang Tanah sementra ada peraturan serupa seperti Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria Arif memiliki kekhawatiran tentang tumpang tindih kebijakan dalam pengurusan tanah, tentunya jika terdapat dua lembaga yang hampir sama, akan menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat.
Untuk mencegah ketidak tahuan masyarakat tentang Bank Tanah perlu dilakukan diskusi-diskusi maupun sosialisasi dalam melakukan penyadar tahuan tentang kebijakan baru ini. Tentu melek hukum mencegah terjadinya konflik ketimpangan tanah saat PP 64 ini mulai dilakukan.
“Jangan sampai Bank Tanah ini dikira kredit, simpan pinjam atau semacamnya kan. Nah ini yang bahaya,” tutup Arif.