Proses adat Suku Bajo pada penutupan lokasi tangkap gurita di Desa Torosiaje, Kabupaten Pohuwato. Foto: JAPESDA
Japesda– Penutupan sementara wilayah tangkap gurita nelayan tradisional di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, resmi dimulai pada tanggal 8 Oktober 2022. Peresmian penutupan itu dilaksanakan tepat pada perayaan Hari Gurita Internasional. Selain itu, untuk memulai penutupan sementara selama tiga bulan lamanya itu, dilakukan dengan ritual adat yang sudah menjadi tradisi turun temurun masyarakat Suku Bajo di Torosiaje.
Tradisi adat berupa ritual tersebut bertujuan untuk memanjatkan doa keselamatan dan rezeki, serta dilakukan untuk menghormati tuan tanah atau penghuni laut dan darat.
“Ritual ini semacam meminta izin untuk melakukan kegiatan, supaya apa yang kita lakukan tidak akan terjadi sesuatu yang buruk,” kata Siding Salihin, pemangku adat Suku Bajo Torosiaje.
Setelah ritual adat selesai sekitar 50 warga berbondong-bondong memasang tanda larangan di dua lokasi tangkap gurita, yaitu; pulau Torosiaje Besar dan Torosiaje Kecil. Pada penutupan lokasi tangkap gurita ini, nelayan Torosiaje menutup sekitar 281 hektar perairan di dua pulau Torosiaje.
“Hari ini kami menutup lokasi penangkapan gurita,” kata ketua Kelompok Sipakullong, Abdul Halik Mappa usai memasang tanda larangan, pada hari minggu 9 Oktober 2022.
Menurutnya penutupan lokasi tangkap dilakukan selama 3 bulan lamanya dan dibuka pada awal Januari tahun depan. Selama itu nelayan Desa Torosiaje maupun nelayan luar desa tidak dapat melakukan aktivitas penangkapan gurita hanya di lokasi yang ditutup sementara.
“Jadi selama penutupan kita tidak lagi menangkap gurita di lokasi ini. Dan ia berlaku untuk semua nelayan dalam dan luar desa. Kami juga sudah mensosialisasikan penutupan di desa-desa tetangga,” kata Daeng, sapaan akrabnya.
Ia berharap besar dengan adanya penutupan sementara lokasi tangkap gurita yang dilakukan perdana di Desa Torosiaje ini dapat berdampak positif bagi semua nelayan yang aktif menangkap gurita.
“Semoga pendapatan nelayan semakin meningkat dari pada sebelum ditutup, karena memang lokasi itu sudah susah mendapatkan gurita besar,” ucapnya.
Kepala Desa Torosiaje, Uten Saerullah yang turut membantu kelompok nelayan pada penutupan lokasi, mengatakan bahwa kegiatan ini menjadi awal yang baik di desanya. Dia mengaku sangat mendukung apa yang dilakukan kelompok Nelayan Sipakullong yang bekerjasama dengan Jaring Advokasi Sumber Daya Alam (JAPESDA). Keseriusan itu juga ditunjukan oleh pemerintah desa dengan membuat Rancangan Peraturan Desa (Perdes) mengenai pengelolaan perikanan gurita di Desa Torosiaje.
“Kemarin kami sudah menyusun Ranperdes (Rancangan Peraturan Desa) dan kini sudah selesai,” kata Uten.
Pada rancangan peraturan desa itu diberlakukan sanksi kepada nelayan yang melanggar penutupan sementara, yaitu: teguran pertama, teguran kedua, penarikan hasil tangkapan beserta alat tangkap dan sanksi berupa denda. Uten mengatakan pemberlakuan sanksi itu merupakan kesepakatan bersama yang disepakati warga Desa Torosiaje.
Ia menuturkan jika penutupan yang dilakukan berdampak positif, maka penutupan akan diberlakukan lagi. Tentunya dukungan itu untuk memberikan kesejahteraan kepada nelayan gurita di desanya.
“Ya, kami akan menutup kembali, namun di lokasi yang berbeda. karena memang sudah ada lokasi lain yang kami survei bersama kelompok dan pendamping JAPESDA,” katanya.
Potensi perikanan gurita di Desa Torosiaje memang cukup menjanjikan. Dalam kurun waktu setahun data pendapatan gurita pada 2021 sebesar Rp. 563 juta. Pendapatan itu kian meningkat pesat pada tahun berikutnya, yaitu Rp. 1.036.863.700.
“Kita melihat gurita ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Ini salah satu komoditi yang menjadi tujuan ekspor dan ini penting kita lihat sebagai salah satu untuk meningkatkan mata pencaharian yang ada di wilayah Torosiaje,” kata Direktur JAPESDA Nurain Lapolo.
Sejak 2010 hingga 2021 data produksi perikanan gurita di Indonesia memang menunjukan angka yang naik turun. Namun Nur Ain menerangkan bahwa pada periode 2021 produksi gurita berada di titik terendah. Menurunnya harga gurita yang turun diakibatkan pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia.
Walaupun perikanan gurita di Torosiaje cukup tinggi, bukan berarti tanpa tantangan. Nur Ain mengatakan bahwa masih lemahnya regulasi perikanan berkelanjutan di tingkat daerah maupun tingkat desa, terlebih praktik nakal nelayan yang masih melakukan destructive fishing yang dapat memperburuk ekosistem yang ada di laut.
“Belum ada peraturan penangkapan gurita yang berkelanjutan. Contoh, sebelumnya di desa belum ada peraturan desa yang mengatur bagaimana masyarakat mengatur secara partisipatif dengan potensi yang ada,” kata Nur Ain pada perayaan Hari Gurita Internasional.
Tidak adanya regulasi pendukung dan masih banyaknya praktik destructive fishing akan mengancam keanekaragaman hayati di wilayah laut dan pesisir. Tentunya ini akan merugikan masyarakat Desa Torosiaje yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan tangkap.
“Dulu mungkin ada masih banyak yang melihat hiu atau penyu maupun spesies endemik yang lainnya. Namun saat ini sudah susah ditemui di perairan Torosiaje,” kata Nur Ain.
Sementara itu Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Pohuwato, Iskandar Datau mengapresiasi penutupan sementara lokasi tangkap gurita di Torosiaje. Menurutnya ini langkah yang baik menuju perikanan yang berkelanjutan, tentunya untuk meningkatkan perekonomian warga Torosiaje.
“Nah, bagaimana supaya ada keberlanjutan? Harus ada pengawasan yang konsisten dari semua pihak,” kata Iskandar di hari yang sama pada perayaan Hari Gurita Internasional.
Iskandar juga mengajak warga untuk terus melakukan upaya menjaga ekosistem keberlanjutan yaitu gurita yang ada di wilayah perairan Desa Torosiaje. Tentunya tak hanya gurita namun spesies perikanan lain yang ada di wilayah perairan Desa Torosiaje.
“Saya berharap mari kita sama-sama menjaga populasi gurita hanya untuk 3 bulan. Kita bersabar dulu untuk melakukan aktivitas penangkapan gurita,” katanya.
Ia menambahkan, untuk mengurangi destructive fishing di wilayahnya, Pemerintah Pohuwato bekerjasama dengan pos angkatan laut akan membuat pos penjagaan di wilayah Torosiaje serumpun.
“Karena memang isu berupa praktek pengeboman ini sudah menjadi isu nasional. Bukan hanya di Gorontalo tapi juga di wilayah lain,” ungkapnya.
Hartati Isima, Kepala Seksi Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Konservasi dan Keanekaragaman Hayati, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo, menanggapi positif upaya konservasi yang dilakukan oleh kelompok Sipakullong di Torosiaje.
“Untuk konservasi kami baru memulai, Tapi JAPESDA dan kelompok Sipakullong malah lebih bagus karena sudah memulainya,” pungkas Hartati.