Outdoor Adventure

Setelah Kesuksesan Buka Tutup, Nelayan Uwedikan Menghadapi Ujian

Seorang nelayan gurita sedang mengamati pergerakan gurita dari atas sampan di perairan dangkal di Desa Uwedikan. Foto: Idhira.

UWEDIKAN – Sudah setengah windu nelayan gurita di Desa Uwedikan, Kecamatan Luwuk timur, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah (Sulteng) menerapkan praktek pengelolaan perikanan gurita dengan metode buka tutup sementara area tangkap gurita. Namun di tahun 2025 ini, dua pekan pasca pembukaan area penutupan sementara, para nelayan tak mendapatkan gurita.

Sejak tahun 2021 Jaringan Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (JAPESDA) telah memulai pendampingan khusus perikanan gurita dengan memberikan penyadartahuan serta pemahaman kepada masyarakat perihal pentingnya menjaga ekosistem laut sebagai habitat gurita. Semenjak itu, setiap tahunya JAPESDA bersama nelayan gurita rutin melakukan penutupan area tangkap. Hasilnya dirasakan oleh para nelayan, gurita melimpah dan memiliki berat satu sampai dua kilogram lebih per ekor.

Di tahun 2025 ini, nelayan gurita di Uwedikan menghadapi ujian. Pasalnya, sudah lebih dari dua pekan pasca pembukaan area tangkap, para nelayan tak kunjung mendapatkan hasil saat melaut. Diketahui, area tutupan di Bilalang seluas 95 hektar atau 950.000 m² jika dibayangkan secara visual setara dengan sekitar 133 lapangan sepak bola.

“Di tahun 2025 kami bersama nelayan gurita baru satu kali melakukan penutupan sementara dimulai pada tanggal 25 April sampai 25 Juli,” Kata Indhira Faramita Moha, Fasilitator di Desa Uwedikan.

Indhira melanjutkan, setelah dibuka area tangkap pada 26 Juli, para nelayan kembali melaut namun hasilnya tak sesuai dengan harapan mereka. Seekor pun gurita tidak berhasil dibawa ke darat. Indira mencoba mencari tahu penyebabnya dengan berdialog dengan para nelayan. Kepada Indira, para nelayan mengaku ada penangkap teripang yang memasuki area tutupan.

“Menurunnya hasil tangkap setelah beberapa pekan dibukanya area tutupan tangkap, itu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Mulai dari air laut yang keruh akibat hujan deras, percuma turun melaut kalau hujan deras pasti tidak akan ada hasil. Selain itu, ada juga informasi dari nelayan yang sudah sering mendapati penyelam menggunakan kompresor,” jelas Indhira.

Nelayan gurita bersama fasilitator JAPESDA menggelar musyawarah di dekat area pantai Desa Uwedikan, membahas pengelolaan perikanan berkelanjutan. Foto: Dokumentasi JAPESDA.

Para nelayan mengungkapkan kekhawatiran pada Indira yang sudah empat tahun lamanya melakukan pendampingan di Uwedikan. Berdasarkan informasi yang diterimanya, Indira menjelaskan bahwa para penyelam itu beraktivitas tidak jauh dari area tutupan.

“Para nelayan ini khawatir, jangan sampai mereka (penyelam dengan kompresor) melihat gurita langsung menangkapnya,” sambung Indhira.

Selain itu, Indhira juga mendapatkan informasi dari salah seorang nelayan, bahwa di perairan Bilalang yang menjadi lokasi nelayan berburu gurita sekaligus tempat penutupan sementara ditemukan tumpahan minyak. Belum diketahui pasti dari mana minyak tersebut berasal. Namun, minyak tersebut diduga berasal dari pabrik tambak udang, dan pabrik minyak kelapa yang ada di Uwedikan.

“Soal tumpahan minyak ini berdasarkan laporan dari satu orang nelayan. Saya pun belum memeriksanya. Itu baru dugaan belum bisa dipastikan apakah berasal dari pabrik atau tumpahan minyak milik nelayan lain,” tutupnya.

Indira akan memastikan lagi berapa jumlah hasil tangkapan para nelayan setelah cuaca membaik dan tidak lagi turun hujan. Untuk selanjutnya, penutupan kedua telah direncanakan di bulan September 2025. Hingga saat ini, belum diketahui pasti berapa lama waktu penutupan area tangkap gurita di bulan selanjutnya.

Suasana musyawarah antar nelayan gurita membahas hasil dan pengelolaan pasca dibukanya kembali area tutupan tangkap gurita. Foto: Dokumentasi JAPESDA.

Di tempat yang sama, Irham Summang salah satu nelayan gurita, berharap sistem buka tutup area tangkap gurita yang telah diterapkan bertahun-tahun lamanya ini bisa membuahkan hasil maksimal seperti halnya di tahun pertama praktek buka tutup diterapkan.

“Tahun 2021 itu, gurita melimpah, banyak hasil tangkapan. Bobotnya ada yang dua kilo, ada juga yang tiga kilo per ekor. Dengan berat yang begitu, sudah pasti harga jualnya mahal,” kata Irham.

Christopel Paino, Program Manager Japesda untuk perikanan skala kecil menanggapi bahwa upaya konservasi, meskipun berbasis data dan partisipasi masyarakat, tidak selalu berjalan mulus. Periode ini dapat dijadikan sebagai momen krusial untuk jeda dan merefleksikan kembali dan menjadi pelajaran berharga.

“Keberhasilan yang telah dirasakan sebelumnya, di mana nelayan mendapatkan gurita dengan berat 1-2 kg per ekor, bahkan ada yang mencapai 3 Kg lebih, membuktikan bahwa pendekatan buka-tutup itu efektif. Namun, masalah baru yang muncul, seperti dugaan adanya penangkap teripang yang memasuki area tutupan dan tumpahan minyak di perairan harus dijadikan evaluasi mendalam,” ungkapnya.

Dijelaskannya lagi, keberhasilan pengelolaan perikanan skala kecil tidak hanya bergantung pada intervensi program, tetapi juga pada faktor eksternal yang kompleks dan di luar kendali langsung komunitas. Perubahan cuaca ekstrem yang menyebabkan air laut keruh akibat hujan deras juga menjadi faktor penghambat.

“Oleh karena itu, langkah selanjutnya adalah mengambil jeda, mengevaluasi semua temuan, dan merancang strategi adaptif,” katanya lagi.

Masa depan pengelolaan perikanan berkelanjutan harus dibangun di atas fondasi yang kokoh, dengan mengakui adanya cerita sukses dan cerita “gagal” sebagai bagian dari proses pembelajaran. Selain itu, penutupan kali ini adalah kesempatan bagi Japesda untuk menguatkan kolaborasi dengan masyarakat, pemerintah, dan pihak terkait lainnya untuk mengatasi tantangan yang terus berubah, memastikan bahwa upaya konservasi tidak hanya efektif secara ekologis, tetapi juga adil dan berkelanjutan bagi masyarakat pesisir.*

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *