
KADODA – Di balik kekayaan sumber daya laut, tersimpan sebuah ironi. Masyarakat Desa Kadoda, Kecamatan Talatako, Kabupaten Tojo Una-una, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) sudah puluhan tahun hidup di laut. Namun diketahui belasan anak di bawah usia lima tahun mengalami gagal tumbuh atau stunting.
Desa Kadoda berada di dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) yang terbagi menjadi tiga Dusun: Dusun 1 Kadoda, Dusun 2 Balantak, dan Dusun 3 Pulau Papan. Masyarakatnya sama-sama menggantungkan hidup dari laut.
Kasus stunting berhubungan dengan kurangnya asupan makan bergizi. Protein adalah nutrisi yang berperan dalam mempengaruhi terjadi hambatan pertumbuhan. Tubuh bayi membutuhkan protein sebagai zat untuk memperbaiki jaringan tubuh, oleh karena itu asupan protein berdampak besar terhadap asupan gizinya. Sehingga bayi dengan asupan tidak mencukupi beresiko lebih tinggi mengalami stunting.
Kandungan protein dari Ikan berkisar antara 17-20%, terdapat 10 jenis asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh manusia dengan nilai cerna yang tinggi, selain itu kandungan asam lemak tidak jenuh berantai panjang yang berkonfigurasi omega-3, seperti eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA), EPA dan DHA berperan dalam penurunan kandungan kolesterol (hiperkolesterolemia) dan trigliserida dalam darah, mencegah jantung koroner dan tekanan darah tinggi serta meningkatkan kecerdasan anak (sebagai intermediator antar sel-sel neuron otak).
Bukan hanya itu, Ikan juga kaya akan fosfor dan kalsium (mencegah osteoporosis), iodium (mencegah sakit gondok, pembentukan IQ); vitamin A dan D, selenium (mencegah penuaan dini) serta zat-zat bioaktif (antioksidan, antiinflamatori, anti kanker).
Asupan protein tidak hanya diperoleh dari ikan saja, tetapi juga dapat diperoleh dari berbagai sumber hewani dan nabati lainya. Di Desa Kadoda, ikan adalah sumber protein yang tersedia dan melimpah ruah.
Daging ayam, telur, daging sapi, olahan susu, dan hati ayam lebih sulit didapatkan. Meskipun Desa Kadoda berada tepat di tengah-tengah teluk terluas di Indonesia, dengan keberlimpahan sumber daya alam perikanan tak cukup mampu mencegah stunting pada anak.
Laut Melimpah, Anak-Anak Kurang Gizi.
Dari bulan Januari hingga Oktober 2025, tercatat sebanyak 12 anak mengalami gagal tumbuh di masa 1000 hari pertama kehidupan. Hal itu diungkapkan langsung oleh bidan Puskesmas Kalia, Novita. Menurut Novita, salah satu penyebab utama stunting di Desa Kadoda adalah kurangnya konsumsi protein oleh ibu hamil, ibu setelah melahirkan dan anak-anak.
“Anak yang stunting memiliki tinggi badan yang lebih pendek dari usia sebayanya, timbangan kurang,” terang Novi saat ditemui setelah mengikuti diskusi pelatihan pengolahan ikan menjadi makanan yang bernilai gizi yang diselenggarakan oleh Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (JAPESDA) di Pulau Papan, Minggu (5/10/2025).

Di Dusun Pulau Papan tercatat ada delapan anak yang mengalami stunting, sementara Dusun Kadoda ada tiga balita, dan Dusun Balantak satu balita. Penyebab lainya selain kurangnya konsumsi ikan adalah kondisi ekonomi nelayan yang tidak stabil. Acap kali ikan hasil tangkapan lebih sering dijual daripada dikonsumsi. Selain itu, faktor lain penyebab stunting di Kadoda adalah sulitnya akses air bersih dan tidak tersedianya jamban yang memadai.
“Kurang makan ikan, lebih banyak makan mie instan. Selain itu juga, pola asuh orang tua yang takut anaknya disuntik, mereka juga takut jarum. Tahun 2023 ada 6 anak yang stunting, tahun 2024 tidak ada, di tahun ini paling banyak ada 12 anak. Untuk itu, kami dari puskesmas sudah melakukan penanganan dengan memberikan makan bergizi setiap harinya,” papar Novi.
Mie instan lebih sering dikonsumsi karena harganya yang murah, serta memiliki rasa yang bervariasi. Anak-anak lebih menyukai mie daripada olahan ikan yang itu-itu saja. Ikan lebih sering digoreng, dimasak berkuah, atau dibakar, dijadikan ikan asin atau ikan asap.
Kurangnya variasi olahan ikan membuat anak-anak ketergantungan dengan citarasa mie instan. Agar anak-anak tidak tergantung dengan mie instan, Japesda kembali menyelenggarakan pelatihan pengolahan ikan menjadi olahan yang bernilai gizi di Desa Kadoda.
Risna Hasan salah satu pelaku UMKM yang konsen dalam pengolahan ikan dari Gorontalo hadir langsung di Desa kadoda untuk memberikan pelatihan. Risna mengatakan ada banyak cara agar anak-anak tidak bosan dengan olahan ikan yang itu-tu saja. Ia berbagi resep,dan teknik pengolahan abon ikan dengan tetap mempertahankan kandungan gizinya.
“Semua jenis ikan mempunyai protein yang baik untuk tubuh, termasuk tumbuh kembang anak. Selama ini ibu-ibu mengawetkan ikan dengan cara-cara tradisional, seperti dijadikan ikan asin, atau ikan asap. Ikan bisa dijadikan sebagai olahan abon. Abon begitu disukai anak-anak dan jauh lebih bergizi dibandingkan dengan mie instan,” papar Risna.
Pelatihan pengelolaan ikan dilangsungkan selama satu hari, dihari oleh anak-anak dan ibu-ibu yang merupakan perempuan nelayan dan nelayan laki-laki.
Risna melanjutkan, olahan abon ikan dapat membuat anak-anak gemar mengkonsumsi ikan. Dengan itu, jumlah konsumsi mie instan dapat dikurangi. Selain itu, Risna juga menjelaskan selain dijadikan sebagai abon, ikan hasil tangkapan juga bisa diolah menjadi sambal ikan, atau makan ringan.

“Snack yang ibu-ibu buat sendiri jauh lebih sehat, bergizi dibandingkan dengan snack yang dijual di warung-warung. Selain ikan, disini ada gurita yang melimpah, hasil tangkapan jangan semuanya dijual, sisihkan sebagian untuk dikonsumsi atau diolah menjadi abon, atau sambal, atau keripik ikan,” pungkasnya.
Ditempat yang sama, Fasilitator Japesda di Desa Kadoda, Titania Aminullah, berharap melalui pelatihan pengolahan ikan yang digelar pada bulan Oktober tahun 2025 angka stunting di kalangan anak-anak dan balita dapat menurun. Selain itu, Ia juga mendorong masyarakat pesisir agar lebih banyak mengkonsumsi ikan hasil tangkapan sendiri.
Titania menekankan pentingnya kesadaran para nelayan bahwa tidak semua hasil tangkapan harus dijual, melainkan sebagian disisihkan untuk kebutuhan konsumsi keluarga sehari-hari.
“Anak-anak disini ketergantungan dengan mie instan kareena olahan ikan yang tidak bervariasi. Harapan saya, melalui pelatihan ini, ibu-ibu punya ide baru dalam mengolah ikan. Kita tau, makan ringan yang dijual di warung itu tidak sehat, tidak punya nilai gizi. Untuk bapak-bapak nelayan, sebisa mungkin ikan hasil tangkapan jangan semuanya dijual, sisihkan sedikit untuk dimasak di rumah,” tutup Tania.*

