
TOROSIAJE- Kesadaran menabung tentunya harus lahir langsung dari pemikiran pentingnya untuk memanajemen keuangan keluarga dengan baik. Untuk merangsang hal ini, Dewi Nagi− fasilitator keuangan di Desa Torosiaje, harus memutar otak dan mencoba berbagai cara.
“Hal seperti ini tidak akan terbangun dengan instan, butuh waktu yang lama dan konsisten,” ujar Dewi ketika diwawancarai melalui via telepon seluler di awal bulan Juli, 2025.
Dewi bercerita bagaimana dirinya melakukan penyesuaian saat mulai bergabung dengan kelompok simpan pinjam yang ada di Desa Torosiaje. Saat siklus pertama dimulai, anggota kelompok simpan pinjam masih berjumlah sembilan orang, delapan di antaranya menabung dan satunya lagi tidak aktif dalam artian tidak menabung tapi terlibat aktif disetiap pertemuan bulanan kelompok.
“Saya coba tanya apa kendalanya? Dia bilang, dia kesulitan mengumpulkan uang dengan nominal yang disepakati setiap bulannya,” lanjut Dewi.
Keluhan seperti ini tentu saja menjadi sebuah masalah yang harus dicari jalan keluarnya. Hingga pada satu masa, memasuki siklus kedua, keluhan yang sama terus-terusan muncul, pertemuan tiap bulannya mulai sunyi.
Ini menjadi masa yang sulit, karena kesadaran akan pentingnya menabung mulai tumbuh, hal ini dilihat dari bertambahnya anggota kelompok simpan pinjam, awalnya hanya sembilan orang, kini bertambah menjadi 18 orang. Dari 18 anggota yang tergabung, hanya 13 di antaranya yang aktif menabung, pun beberapa waktu juga mulai mengeluhkan hal yang sama, ‘nominal tabungan per bulan sangat besar.’

Sebenarnya bukan nominal uangnya yang terlalu besar, namun berkurangnya pendapatan nelayan diakibatkan cuaca ekstream, dan meningkatnya kebutuhan rumah tangga, membuat nelayan kesulitan menyisihkan uang.
Ini adalah masalah struktural yang sulit untuk lepas dari kehidupan nelayan, belum lagi ikatan antara nelayan dan pengepul yang tidak setara, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zakaria Anwar dan Wahyuni di tahun 2019, dalam catatan Miskin di Laut yang Kaya: Nelayan Indonesia dan Kemiskinan, Zakaria dan Wahyuni mengungkapkan bahwa kelompok nelayan yang miskin seringkali menjadi objek eksploitasi tengkulak dan pemilik modal, hal ini berujung pada sulitnya nelayan lepas dari jeratan hutang dan kemiskinan.
Mengatasi masa sulit, Dewi memutar otak dengan keras, dan berakhir pada kesepakatan menabung Rp5.000 per harinya, sebagai upaya menabung sedikit demi sedikit untuk memenuhi nominal tabungan bulanan yang telah disepakati bersama.
“Hal ini meringankan kami (nelayan), dibandingkan per bulan, menyicil per hari lebih baik,” ujar Ispan. Ispan adalah salah satu nelayan yang sudah merasakan keuntungan dari kelompok simpan pinjam yang diinisiasi oleh Japesda di desa mereka.
Baru-baru ini, memasuki awal bulan Juli, Ispan mengalami kesulitan ekonomi, anaknya sakit dan harus dilarikan ke rumah sakit, belum lagi biaya sehari-hari dan kebutuhan untuk membayar tagihan Listrik.
“Uang tabungan yang saya pinjam dari kelompok saya pakai untuk kebutuhan keluarga. Hal ini sangat membantu di waktu-waktu terdesak,” lanjutnya. **