Oleh: Rahman Dako
Gorontalo baru saja memiliki seorang Gubernur baru, lebih tepatnya Penjabat Gubernur (Penjagub), Hamka Hendra Noer, PhD. Beliau menggantikan Rusli Habibie yang sudah selesai masa tugasnya. Penjagub akan bertugas paling lama satu tahun ke depan. Setidaknya itu yang bisa disimak dari arahan Menteri Dalam Negeri saat pelantikan 12 Mei lalu.
Banyak ekspektasi masyarakat dengan hadirnya gubernur baru. Ada yang meminta penurunan angka kemiskinan, penyelesaian GORR, perbaikan jalan di desa-desa, perbatasan Gorontalo Sulawesi Tengah di Tolinggula Gorut, pendidikan, dan lain-lain. Ada juga yang membahas bisa tidaknya Penjagub melakukan mutasi di dinas-dinas yang ada saat ini. Harapan yang membuncah seperti itu adalah hal yang normal karena barangkali, masih ada yang perlu dituntaskan atau kurang disenangi pada era kepemimpinan Pak Rusli dan Ka Idi.
Tak ketinggalan pula organisasi-organisasi mahasiswa ektra kampus dan ormas yang pernah beririsan dan bersentuhan dengan Penjagub: baik secara pribadi maupun atas nama organisasi, mereka mencoba lebih akrab dengan memberikan ucapan selamat dan dukungan baik berupa pesan dan flyer. Foto-foto dan video Penjagub berseliweran di media-media sosial, Facebook, Whatsapp Group, Instagram, dan media massa lainnya. Bahkan ada yang “usil” mendorong Penjagub menjadi gubernur definitif. Penjagub ditempeli dengan beragam kepentingan dan aspirasi yang belum tentu bisa terselesaikan dalam jangka waktu satu tahun (kalau tidak diperpanjang sampai selesainya tahapan pemilihan gubernur definitif).
Namun yang kurang disoroti adalah masalah lingkungan hidup di Gorontalo. Lingkungan hidup yang dimaksud di sini adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan prilakunya, yang memengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan prikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (UU PPLH 2009). Saya sempat baca yang sempat disentil sedikit di media sosial hanya satu masalah, yaitu masalah pengelolaan Danau Limboto.
Sementara kita ketahui, ada banyak daftar masalah lingkungan hidup yang dihadapi Gorontalo saat ini. Deretan masalah-masalah besar lingkungan hidup Gorontalo antara lain alih fungsi hutan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone untuk tambang PT Gorontalo Minerals dan pembangunan bendungan (liputan6.com, 20/1/’22). Ada juga masalah konflik lahan dan janji-janji manis perusahaan sawit PT. Agro Artha Surya di Boalemo dan perusahaan lainnya di Pohuwato (mongabay.com, 16/5/’21).
Di Cagar Alam Tanjung Panjang Pohuwato, sekitar 85 % kawasan telah dikuasai masyarakat penambak menjadi tambak udang/bandeng (JAPESDA, 2021). Begitu pula tambang emas rakyat dan rencana eksploitasi PT. GSM yang diduga mencemari air minum dengan merkuri terjadi di Kabupaten Pohuwato. Bahan pencemar ini bahkan sampai ditemukan di daging dan hati burung air serta ikan, udang, kepiting dan biota laut lainnya di muara Sungai Randangan dan Sungai Taluduyunu (dulohupa.id, 28/12/’20).
Isu terkini dan heboh adalah meningkatnya suhu udara di Kota Gorontalo akibat pemanasan global dan kurangnya tutupan pohon-pohon pelindung atau ruang terbuka hijau. Pada bulan Maret 2022, BMKG menetapkan Kota Gorontalo mendapatkan predikat pertama Kota Terpanas di seluruh Indonesia. Selain pesatnya pembangunan dan penggunaan AC yang berlebihan, penebangan pohon terjadi di mana-mana untuk tujuan “pembangunan”. Dana dari Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang diluncurkan Jokowi untuk mengurangi dampak pandemi COVID 19, digunakan untuk membangun infrastruktur jalan dan taman sehingga banyak pohon ditebang sepanjang jalan. Setidaknya tujuh proyek besar PEN yang didapat Provinsi Gorontalo melalui pinjaman daerah tersebut, terdapat di Kota Gorontalo (gorontaloprov.go.id, 1/12/’21).
Kembali ke Penjagub Gorontalo. Dari biodata Penjagub yang tersebar, disebutkan bahwa beliau adalah ‘Orang Gorontalo (Batudaa)’, tapi dibesarkan di Manado. Kuliah S1 di Universitas Sam Ratulangi, S2 di Universitas Indonesia dan S3 dengan predikat cum laude di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Beliau kemudian pindah ke Jakarta dan menjabat di beberapa kantor pemerintah antara lain di Bulog, Menko Kesra dan terakhir di Kemenpora bersama-sama Menteri Zainudin Amali, politisi Partai Golkar asal Gorontalo.
Deretan jabatan pengurus organisasi yang pernah dijabat beliau di antaranya Ketua HMI Cabang Manado, Sekretaris dan Wakil Ketua LAMAHU, Pengurus KNPI, Ketua GPII, KP3G, dan lain-lain. Sejumlah kompetensi dikuasainya antara lain terkait dengan demokrasi, pemberdayaan dan kepemimpinan pemuda, politik, birokrasi dan masyarakat sipil. Sederet buku dan jurnal-jurnal ilmiah pernah ditulisnya serta menjadi tenaga pengajar di beberapa universitas di Indonesia.
Justru yang menarik bagi saya adalah Pendidikan Strata 2 Pak Penjagub. Beliau menyelesaikan S2 di Universitas Indonesia Jurusan Ilmu Lingkungan tahun 1998 dengan tesis berjudul “Model Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Pengelolaan Sampah Permukiman, Studi Kasus di Kotamadya Gorontalo”. Sebuah kebetulan yang menggembirakan. Ini adalah untuk pertama kalinya Provinsi Gorontalo dipimpin oleh Ahli Lingkungan Hidup.
Sebagai seorang yang aktif menggeluti masalah-masalah lingkungan hidup, saya merasa senang dan banyak berharap ada sesuatu yang akan dihasilkan dari seorang ahli lingkungan hidup. Sebagai seorang yang gemar membaca bacaan tentang lingkungan hidup, saya juga memplototi judul-judul karya ilmiah dan buku-buku tulisan Pak Penjagub. Sayang sekali saya tidak dan belum menemukan judul selain judul disertasi beliau. Saya berusaha mencari di google scholar dan pencarian lainnya, tetapi tidak menemukan tulisan apapun, termasuk tesis beliau di UI. Mudah-mudahan kalau berjumpa, saya akan meng-copy tesisnya.
Dari judul tesis beliau, aspek partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah di Kota Gorontalo, sangat dibutuhkan saat ini. Masyarakat Kota Gorontalo cenderung apatis atau pada posisi tidak peduli lagi dengan sampah. Dengan membayar biaya retribusi 667 rupiah per hari (Rp 20.000 per bulan), masyarakat menyerahkan sepenuhnya pengelolaan sampah kepada petugas kebersihan. Minggu yang lalu, di sebuah whatsapp group beranggotakan 183 anggota terdiri dari Walikota, para bupati, politisi dan anggota DPRD lintas partai, aktivis, wartawan senior, serta pengusaha membahas masalah sampah selama kurang lebih 1,5 hari, saking banyaknya keluhan dari anggota whatsapp dan masyarakat mengenai sampah.
Yang paling disoroti adalah kurangnya partisipasi masyarakat dalam memilah sampah dari sumbernya, “rendahnya” anggaran penanganan sampah terutama rendahnya gaji petugas kebersihan, serta yang paling disoroti adalah kineja pimpinan OPD terkait yang dianggap tidak tanggap menangani sampah.
“Bekeng lala mulu,” demikian sarkasme yang muncul.
Kalau masalah sampah tidak ditangani dengan baik, pertanda turunnya peradaban Gorontalo, apalagi Kota Gorontalo sebagai ibukota. Mudah-mudahan Penjagub bisa bekerja dengan baik di Gorontalo. Intinya, saya berharap ada legacy penting yang akan ditinggalkan beliau untuk urusan lingkungan hidup di Gorontalo.
Selamat bertugas Pak Gubernur. Semoga pengetahuan S2 Ilmu Lingkungan yang bapak pelajari bisa berguna bagi banyak orang dan diterapkan di Kota dan Kabupaten lainnya di Provinsi Gorontalo. Oduolo.
Penulis adalah Pendiri JAPESDA Gorontalo, Ketua Forum Komunitas Hijau Kota Gorontalo