Japesda

International Women’s Day: Suara dari Perempuan yang Terpinggirkan

Japesda – Setiap tanggal 8 Maret diperingati sebagai International Women’s Day (IWD) atau Hari Perempuan se-dunia. Peringatan ini pertama kalinya dilakukan pada tahun 1911 dengan komitmen mendorong kesetaraan perempuan. Pada tahun 2024, peringatan IWD mengambil tema “Inspire Inclusion” atau “Menginspirasi Inklusi”. Itu berarti merayakan keberagaman dan pemberdayaan di seluruh aspek masyarakat. Peran inklusi diperlukan untuk mencapai kesetaraan.

Japesda, sebagai organisasi non-pemerintah, selalu menjadikan perempuan sebagai salah satu gerakan dalam melakukan pemberdayaan. Partisipasi perempuan memiliki peran yang vital dalam proses pengambilan keputusan di masyarakat. Di desa-desa dampingan Japesda, perempuan berjuang di tengah gempuran stereotype sebagai sub-ordinat dari laki-laki. Sebagai contoh, seperti yang dialami oleh Delni Tama, seorang nelayan perempuan di desa Torosiaje.

“Saya sudah menjadi nelayan selama 23 tahun dan sebagai perempuan itu tentu saja tidak mudah. Banyak kesulitan yang saya alami,” katanya.

Selain Delni, ada juga Sahara Abas, seorang petani di Desa Ilomata. Sahara telah bertani sejak tahun 1992 hingga saat ini. Perempuan-perempuan ini tidak hanya bekerja pada urusan domestik saja, namun juga pada sektor publik yang didominasi laki-laki. Kondisi ini menggugurkan pandangan banyak orang bahwa perempuan hanya selalu berkaitan dengan mengurus rumah, anak dan melayani suami.

Potret Nelayan Perempuan di Desa Kadoda yang sedang mencari Gurita. Foto: Tania

Delni sebagai perempuan yang menangkap ikan dan Sahara sebagai perempuan yang bekerja pada sektor pertanian, pada kenyataannya telah berkontribusi, atau setidaknya ikut menopang ketahanan pangan nasional. Namun mereka tidak mendapatkan posisi penting sebagaimana privilege yang didapatkan oleh laki-laki, kecuali sebatas angka-angka statistik pertumbuhan ekonomi.

Sehingga, lebih dari sekedar beban ganda dalam rumah tangga, ketidakadilan yang dihadapi oleh perempuan-perempuan di desa: baik yang ada di pesisir, pulau, atau di kawasan hutan, saling berkelindan dan silang sengkarut. Ketidakadilan tersebut berlapis, mulai dari unit keluarga, komunitas, dan juga ketidakadilan yang dilakukan oleh negara.

Belum lama ini, tepatnya pada tanggal 28 Februari – 1 Maret 2024, Japesda ikut berpartisipasi dan menjadi bagian dari keterwakilan 40 orang perempuan perwakilan komunitas adat dan komunitas lokal dari 12 NGO se-Indonesia, yang digagas oleh Akar Global Initiatif dan Forest People Programme. Konferensi ini dilaksanakan selama 3 hari, yang bertujuan untuk memperkuat gerakan dan solidaritas perempuan menghadapi ketidakadilan pembangunan dan krisis ekologi.

Konferensi ini juga merupakan momentum bagi perempuan untuk merayakan International Women’s Day (IWD) dan momentum untuk menyampaikan tuntutan dan agenda perempuan kepada pemerintah, pasca pemilu 2024 untuk melindungi dan menghormati hak-hak perempuan adat dan lokal dalam mengelola sumber-sumber penghidupannya.
Erwin Basrin, Direktur Eksekutif Akar Global Initiatif, menjelaskan bahwa salah satu strategi yang telah berhasil Akar lakukan untuk mengarusutamakan isu perempuan dalam pembangunan adalah dengan menempelkan isu perempuan dengan isu yang lebih politis, seperti isu pangan dan kemiskinan.

“Gerakan perempuan harus dimobilisasi pada level internasional agar gerakan ini menciptakan dampak yang lebih luas,” ujarnya.

Direktur Japesda, Nurain Lapolo berbagi cerita kepada peserta lain di Konferensi Perempuan Berbagi, 28 Februari – 1 Maret 2024. Foto: Dokumentasi Panitia Konferensi Perempuan Berbagi.

Devi Anggraini, Ketua Umum Perempuan AMAN, mengatakan bahwa perempuan harus memiliki eksistensi, hak dan pengetahuan, di mana hal-hal ini perlu dimasukkan dalam dokumen rencana pembangunan di Indonesia.

“Hal tersebut menjadi sangat krusial karena berkaitan dengan regenerasi, reclaim, dan reproduksi segala sesuatu tentang kehidupan perempuan adat dan wilayah adatnya,” tegasnya.

Pertemuan ini juga merumuskan agenda dan tuntutan perempuan untuk disuarakan, direkomendasikan dan ditindaklanjuti oleh Pemerintah Republik Indonesia. Tuntutan perempuan adat dan komunitas lokal ini dirumuskan bersama-sama yang terbagi dalam 7 poin, yakni:

  1. Hentikan kriminalisasi, intimidasi dan diskriminasi bagi semua perempuan pejuang keadilan
  2. Hentikan seluruh aktivitas Industri Ekstraktif yang merugikan perempuan, merusak ruang hidup (alam) dan menghancurkan sumber penghidupan dan kehidupan perempuan adat dan lokal
  3. Kembalikan hak perempuan adat dan lokal atas sumber daya alamnya
  4. Kembalikan akses perempuan adat dan lokal dalam mengelola Sumber Daya Alamnya
  5. Mendesak pemerintah untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan terkait tata kelola sumber daya alam yang berkeadilan, berkelanjutan dan berdasarkan UU No. 7 Tahun 1984 (CEDAW) dan Konvensi 167 tentang Masyarakat Adat
  6. Mendesak pemerintah untuk melibatkan perempuan dalam setiap proses pengambilan keputusan terkait tata kelola sumber daya alam
  7. Meminta Komnas Perempuan dan Komnas HAM untuk menjadikan tuntutan dan agenda perempuan di atas sebagai mandat kepada pemerintah.*

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *