Keseharian Ipin Mutama membeli gurita hasil tangkapan nelayan Desa Torosiaje. Foto: Jalipati Tuheteru
Penulis: Jalipati Tuheteru
Suku Bajo terbiasa hidup bersinggungan dengan lautan. Sebutan ‘pengembara laut’ cukup tersohor dan melekat pada suku yang menjadikan laut sebagai sumber makanan dan sumber penghasilannya.
Ipin Mutama (40) Warga Desa Torosiaje, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo merupakan warga asli Suku Bajo yang berprofesi sebagai nelayan dan cukup dikenal sebagai ‘pelaut ulung’ di lingkungannya. Seperti julukan itu sepak terjang Ipin Mutama tak perlu diragukan lagi dalam menaklukan ganasnya segara.
Pria dengan sapaan akrab Puah Kelsi itu tentu sudah memiliki pengalaman yang cukup lama melalang buana di lautan. Mengelilingi samudera mencari berbagai sumberdaya ikan, seperti ikan batu, teripang, gurita, lobster, kima dan beragam jenis lainnya adalah kesehariannya. Tentu semua itu dilakukan hanya menyambung hidup dan memenuhi kebutuhan keluarganya.
Aktivitas melaut hampir tidak pernah absen ia lakukan, terkecuali musim barat yang berakibat fatal terhadap nyawanya atau jika ada nelayan/kerabat yang meninggal. Namun jika tidak ada kendala, maka setiap hari aktivitas melaut terus ia lakoni seperti hari-hari biasanya.
Namun itu hanya kisah lama bagi Puah Kelsi. Pada tahun 2018 silam menjadi awal ia menemui titik untuk mengakhiri petualangan pengembaraannya mengarungi laut. Bukan tanpa alasan, ia mendapatkan tawaran menjadi agen pengepul gurita. Ya, iming-iming kesejahteraan itu membuatnya tak ingin melewatkan kesempatan itu.
Bunyi dan dering telepon tak berhenti. Getaran dan bunyinya cukup membuat gundah anak Puah Kelsi yang saat itu berada di dalam rumah. Geregetan dengan bunyi dering itu, ia pun memanggil Puah Kelsi yang berada di luar rumah untuk segera mengangkat panggilan telepon yang sedari tadi mengganggu pendengaran.
Kejutan memang datangnya tidak diduga-duga. Panggilan telepon itu ternyata datang dari Daeng Arif. Adalah pria asal Sulawesi Selatan, kini meninggali Desa Torosiaje Jaya (pecahan Desa Torosiaje) dan merupakan pengusaha yang fokus membeli hasil laut gurita.
Melalui sambungan telepon, Daeng Arif menawarkan kerjasama menjadi agen pengepul Gurita di Desa Torosiaje. Tak puas dengan perbincangan itu, Puah Kelsi memita untuk saling bertemu dan mendiskusikan topik pembicaraan mereka.
Pada 2018 memang hasil tangkapan gurita cukup melimpah di Desa Torosiaje. Sayang, banyaknya hasil tangkapan gurita tak sebanding dengan jumlah konsumen. Padahal harga gurita cukup tinggi.
Walaupun menjadi agen pengepul gurita sangat menggiurkan, namun Puah Kelsi gelisah dengan usaha yang potensial itu. Ia memikirkan tentang memulai usaha. Modal besar harus disiapkan, pastinya menguras isi dompet, bahkan dipaksakan pun ia tak bakal memiliki cukup uang. Niat yang kuat namun tak memiliki cukup modal untuk memulai, memaksa ia berpikir dua kali.
Akhirnya terjawab sudah kegundahan hati Puah Kelsi. Daeng Arif memberikan modal menjalankan dan memulai usaha pengepul gurita. 10 Juta menjadi jalan yang diberikan Daeng Arif untuk Puah Kelsi mencoba usaha yang menjanjikan kesuksesan itu.
Hari demi hari aktifitas membeli dan menyuplai gurita Puah Kelsi jalankan. Tentu setiap usaha pasti punya batu sandungan. Benar saja, momen itu terjadi. Tanpa disadari ia mengalami kerugian yang cukup besar.
Menurutnya kerugian itu terjadi karena ia belum cukup berpengalaman menjalankan usaha pengepul. Amatiran sepertinya tiba-tiba menjalankan usaha tanpa pengetahuan yang mumpuni dalam pemasaran gurita.
“Saat nelayan datang dengan gurita, saya langsung menimbang tanpa melihat kriterianya.” katanya tanpa melihat kualitas dan kriteria gurita.
Puah Kelsi menjelaskan, melihat kualitas gurita yang baik ditentukan dengan kategori ukuran (size). Dibagi menjadi empat bagian ukuran, yakni; ukuran A, B, C dan D untuk komersil. Namun ada syarat lain seperti melihat kelengkapan gigi rusak/tidak, perubahan warna serta keutuhan tentakel. Di luar syarat itu gurita menjadi kategori lokal, tentunya dengan harga jual yang rendah.
Sialnya, Puah Kelsi membeli tanpa melihat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam pemasaran gurita. Tentunya ia membeli gurita dalam jumlah besar dengan kualitas lokal dengan harga sesuai komersil. Akhirnya kerugian pun tak terhindarkan.
“Saya belum mengetahui cara melihat kualitas gurita, akhirnya saya bayar dengan harga yang cukup tinggi. Waktu itu harga gurita 65 ribu size A dan B, 50 ribu size C dan 30 ribu untuk size D. sedangkan kategori lokal bisa dibeli dengan harga 10 ribu sampai 15 ribu,” jelasnya awal menjalankan usaha pengepul gurita.
Waktu itu, Puah Kelsi menjual hasil pembelian gurita dari nelayan. Daeng Arif selaku bos dan tempatnya menyuplai gurita hasil pembelian dari nelayan, mengatakan bahwa semua gurita yang ia pasok ternyata gurita kualitas lokal.
Barang tentu ia kaget. Tanpa tahu berkata-kata. Menyesal pun tak berguna lagi. Sudah menyelam harus tetap menyelam walaupun merugi.
Kondisi yang membuat puah Kelsi terpojok itu tak bikin ia patah arah. Ia tetap melanjutkan apa yang sudah ia mulai. Walaupun merugi masih menjadi bayang-bayang yang mengintai usahanya setiap saat.
Lagi-lagi Daeng Arif menjadi pemecah kebuntuan dan sumber pengetahuan mengelola usaha. Banyak pelajaran yang didapatkan Puah Kelsi, baik menentukan ukuran dan menentukan harga gurita yang tepat.
Bencana itu membuat ia meningkatkan pengetahuan mengelola gurita, ia juga memberikan pemahaman kepada nelayan untuk menentukan gurita yang layak jual. Bagaimana memperlakukan gurita setelah ditangkap dan standar-standar kriteria gurita yang layak dijual dengan harga tinggi.
“Saya pun ikut menyampaikan ke mereka (nelayan) seperti apa kriteria gurita masuk kategori lokal atau tidak. dari berbagai pengalaman yang ada, saya terus berusaha dan belajar. Sehingga sampai saat ini saya masih tetap membeli gurita”.
Awal menjalani bisnis gurita, ia membatasi jumlah gurita yang masuk. Sebabnya, dia menampung selama 2-3 hari, menurutnya itu cukup beresiko untuk menjaga kualitas gurita. Setelahnya gurita segera dijual di pengepul besar. Dalam sekali jual ia biasanya memasok 60-80 kg. Jumlah paling sedikit 40 sampai 50 kg.
Berbeda dengan saat ini. Setiap hari ia mampu menjual dengan jumlah yang besar 100 kg hingga 150 kg per hari, sedangkan paling sedikit 50 kg sampai 80 kg per hari. Tanpa harus menunggu waktu 2 sampai 3 hari lagi demi menjaga kualitas.
Peningkatan penjualannya, berbanding lurus dengan jumlah penangkap gurita yang semakin banyak. Walaupun yang ditangkap tidak berukuran besar, tapi jumlahnya cukup banyak. Berbeda dengan beberapa tahun silam, gurita berukuran besar cukup banyak, namun tidak banyak yang memasukan gurita di pengepul kepadanya.
“Dulu pendapatan setiap bulan sedikit. Hanya 3 Jutaan, tapi sekarang ini bisa sampai 2 kali lipat pendapatan per bulan. Bisa sampai 7 juta rupiah sampai 8 juta rupiah per bulannya,” kata puah kelsi menghitung-hitung pendapatanya.
Merugi adalah satu dari sekian banyak tantangan yang harus dihadapi dalam menjalankan usaha pengepul. Ya, tentu sejak 2018 Puah Kelsi Sudah merasakan beragam lika-liku yang harus ia lewati. Jatuh bangun bahkan gulung tikar sudah dianggap biasa bagi banyak pengepul kecil di desanya.
Persaingan harga antar pengepul misalnya. Perbedaan selisih harga sedikit saja mampu menggiring nelayan menjual hasil tangkapannya kepada pengepul lain yang mematok harga tinggi. Apalagi terdapat 12 pengepul di Desa Torosiaje, 3 diantaranya pengepul utama, 3 pengepul besar dan sisanya pengepul kecil. Membuat pengepul kecil harus berjuang keras.
“Karena jika beda harga 1000 saja, maka nelayan akan menjual ke pengepul lain. Biasanya mereka akan mengejar harga yang cukup tinggi,” keluhnya.
Menurutnya, pengepul di Desa Torosiaje cukup banyak. Enam pengepul kecil saat ini hanyalah sisa yang mampu bertahan. Beberapa yang lain berhenti, akibat tak mampu bersaing harga. Terlebih patokan harga pengepul utama dan pengepul besar cukup tinggi. Akhirnya, banyak yang tak mampu menyesuaikan harga.
“Harga yang dipatok pengepul utama dan pengepul besar cukup tinggi dari 60 ribu sampai 70 ribu per kg. Sedangkan pengepul kecil cuma mampu membeli harga 40 ribu sampai 50 ribu per kilo,”
Masalah lain, tangkapan gurita saat ini memang banyak, namun hanya berukuran kecil yang masuk. Sementara kebutuhan konsumen mengambil ukuran A, B, C, dan D. Hal itu membuat dilema pengepul dalam menjalankan bisni ini.
“Sekarang ini nelayan menjual guritanya ke saya paling banyak yang halus, yang berukuran 1 kg itu pun cuma 1 atau 2 ekor saja. Bahkan ada juga nelayan yang menjual gurita semuanya kecil-kecil atau halus,” keluh Puah Kelsi.
Menurut Puah Kelsi, gurita ukuran besar di sekitar perairan Desa Torosiaje sudah sangat sulit didapatkan. Musababnya karena penangkapan gurita terus menerus dilakukan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan populasi gurita. Paceklik tangkapan gurita besar pun dirasakan oleh nelayan.
Perairan Sulawesi Tengah menjadi daerah tujuan nelayan gurita Torosiaje karena peluang mendapatkan gurita ukuran besar masih ada. Di Pulau Laleyu dan Pulau Sangi di Moutong mereka mencari gurita, menurut Puah Kelsi.
Jarak yang jauh itu pun tak menjanjikan gurita besar untuk nelayan, “Jika dapat, beratnya paling 1 kg lebih sedikit. Namun jumlahnya juga tidak begitu banyak, hanya 3-4 ekor saja, sisanya berukuran halus-halus (kecil),” ungkap Puah Kelsi.
Merasakan paceklik gurita ukuran besar, kini nelayan yang diinisiasi Jaring Advokasi Pengelolaan Sumberdaya Alam (JAPESDA) dan kelompok nelayan Sipakullong melakukan penutupan sementara wilayah tangkap gurita. Di Pulau Torosiaje Besar dan Torosiaje kecil mereka melakukan penutupan sementara itu.
Selama 3 bulan wilaya itu ditutup, dijaga ketat oleh nelayan. Sejak awal oktober 2022 kedua pulau di perairan Desa Torosiaje di tutup sementara. Aktivitas penutupan akan berakhir pada awal januari 2023.
Harapannya, penutupan sementara dapat memberikan dampak positif untuk nelayan dan keberlangsungan hidup gurita. Imbasnya bukan hanya nelayan yang diuntungkan namun pengusaha kecil pengepul gurita juga merasakan dampaknya.
“Jika sudah berukuran besar. Harganya juga bagus, dibandingkan dengan ukuran kecil harganya murah,” harap Puah Kelsi setelah penutupan sementara lokasi guruta berakhir nanti*
Penulis adalah anggota JAPESDA dan pendamping desa untuk program “Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan yang Berbasis Masyarakat” di Desa Torosiaje, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo.