Japesda- Memperingati Hari Lingkungan Hidup, Rabu, 5 Juni 2024, di Jembatan Talumolo 2, Kelurahan Botu, Kecamatan Dumbo Raya, Kota Gorontalo, Simpul Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Gorontalo melakukan aksi bertajuk “Pulihkan Gorontalo: Moratoriun Izin Industri Ekstraktif di Gorontalo. Aksi ini dilakukan sebagai salah satu bentuk ketidakpercayaan mereka terhadap aktivitas industri ekstraktif yang saat ini sedang beroperasi di Gorontalo.
Menurut Renal Husa, selaku Koordinator Lapangan sekaligus Dinamisator Simpul WALHI Gorontalo, aksi ini adalah salah satu refleksi dari temuan-temuan lapangan yang dikumpulkan oleh Simpul WALHI Gorontalo,
“berdasarkan hasil kajian kami, ternyata di Gorontalo sudah banyak sekali hutan yang rusak, ada banyak tanah warga yang dirampas, dan semua itu untuk pemenuhan investasi industri ekstraktif yang ada di Gorontalo,” ujar Renal.
Belakangan isu mengenai perampasan lahan sedang menjadi perbincangan besar di sosial media, salah satunya adalah perampasan hutan adat yang dilakukan oleh PT. Indo Asiana Lestrasi terhadap Suku Awyu, Boven Digoel, Papua Selatan dan Suku Moi, Sorong, Papua Barat Daya. Perusahaan ini menggantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, yang berlokasi di hutan adat Suku Awyu. Tak ayal hal ini melahirkan tagar #AllEyesOnPapua.
Bukan hanya di Papua, hal yang sama juga terjadi di Gorontalo, pembukaan lahan secara masif belakangan sedang banyak dilakukan oleh perusahan. Apalagi Gorontalo menjadi salah satu daerah sentral dalam pemenuhan Hutan Tanaman Energi (HTE) di Indonesia.
Tecatat luas wilayah Provinsi Gorontalo mencapai 1.203.350,42 Ha sedangkan 63,63% dari luas wilayah ini adalah luas Kawasan hutan, yang terbagi atas; Hutan Konservasi sebesar 196.653,00 Ha; Hutan Lindung sebesar 204.608,00 Ha; Hutan Produksi Terbatas sebesar 251.097,00 Ha; Hutan Produksi Tetap sebesar 89.879,00 Ha dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi sebesar 25. 917,41 Ha.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Japesda, pengalihfungsian lahan di Gorontalo banyak terjadi di area-area Cagar Alam, Suaka Marga Satwa dan Hutan Lindung. Pengalifungsian ini, terjadi untuk memenuhi kebutuhan perusahaan, perkebunan dan pertanian. Baru-baru ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan FOLU Net Sink 2030 yang membuka kawasan hutan sebagai kawasan konversi dalam pemenuhan target pengurangan emisi nasional, tentu saja pembukaan lahan untuk beberapa tahun kedepan akan terus terjadi.
Pembukaan lahan tentu saja menghadirkan penolakan di masyarakat, tak hanya di Suku Awyu, Boven Digoel, Papua Selatan. Menurut Tarmizi Abbas, Koordinator Institute for Human and Ecological Studies (Inhides) dalam orasinya, Rabu (5/5), perampasan ruang-ruang penghidupan juga terjadi di Gorontalo hal ini bahkan berujung pada tindak kriminalisasi terhadap masyarakat.
“Saat ini pemerintah sedang gencar-gencarnya mendorong investasi, meminggirkan rakyat bahkan mengambil ruang-ruang hidup. Tahun 2022 lalu, lima orang petani yang ada di Desa Pangeya, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo, dikriminalisasi oleh Perusahaan sawit. Tanpa prosedur yang jelas, mereka dijemput paksa oleh polisi menggunakan mobil Perusahaan.” Ujar Tarmizi.
Sebagai bentuk penolakan terhadap industri ekstraktif di Gorontalo, aksi ini juga dibarengi dengan Pembentangan baliho bertuliskan “Pulihkan Gorontalo. Moratorium Izin Industri Ekstraktif di Provinsi Gorontalo, penandatangan dan aksi teatrikal oleh Indira Lomban yang melumuri tubuhnya dengan lumpur, memakai sungkup oksigen, dan menerikkan “bumi menderita” berulang-ulang kali. Teatrikal ini diakhiri oleh pembacaan puisi milik Taufik Ismail: “Membaca Tanda-Tanda”.**