Japesda

Pandemi COVID-19 dan Dampak Pariwisata di Desa Torosiaje

Jembatan kayu di Desa Torosiaje. Foto: Elias

Penulis: Jalipati Tuheteru

Dewasa ini dunia internasional sedang diperhadapkan oleh permasalahan global, yakni menyangkut masalah kesehatan. Sebuah virus yang menginfeksi saluran pernapasan disebut sebagai Coronavirus Disease atau dikenal sebagai COVID-19. Kemunculan Coronavirus diduga mulai muncul di tahun 2019 di Wuhan, China yang akhirnya menyebar ke penjuru belahan dunia. 

Menurut World Health Organization (WHO) Corona viruses (Cov) merupakan virus yang menginfeksi sistem pernapasan. Virus Corona menyebabkan penyakit flu biasa sampai penyakit yang lebih parah seperti Sindrom Pernafasan Timur Tengah (MERS-CoV) dan Sindrom Pernafasan Akut Parah (SARS-CoV). Virus ini menular dengan cepat dan telah menyebar ke beberapa negara, termasuk Indonesia.

Di Indonesia, COVID-19 mulai masuk dan menyebar pada bulan maret tahun 2020 lalu. Hal ini diawali dengan salah seorang warga negara Indonesia yang bersentuhan langsung dengan warga negara asing. berawal dari sentuhan itu COVID-19 mulai terdeteksi masuk di negara nusantara. Penyebaran COVID-19 sangat cepat dan telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Per tanggal 18 Agustus 2020 saja, virus ini telah mencapai angka 143.043 kasus pasien positif COVID-19.

Masuknya pandemic COVID-19 di Indonesia, mulai memberikan dampak terhadap berbagai sendi-sendi kehidupan masyarakat, baik masyarakat kelas menengah kebawah maupun menengah ke atas. Pandemi COVID-19 secara nyata telah berdampak terhadap kehidupan sosial dan perekonomian global. Sektor pariwisata menjadi salah satu sektor yang paling terdampak akibat pandemi COVID-19. 

Kebijakan travel restrictions serta pembatalan dan pengurangan frekuensi penerbangan, penutupan hotel telah mengurangi supply dan demand pariwisata dalam negeri maupun internasional (Christian & Hidayat, 2020). Berdasarkan laporan  World Tourism Organization Unwto (UNWTO) sampai periode juni 2020, estimasi kedatangan wisatawan mancanegara (wisman) menurun hingga 93% atau kehilangan 440 juta kunjungan dibandingkan tahun 2019 dan menjadi periode terburuk dalam perkembangan pariwisata global semenjak tahun 1950 (UNWTO, 2020).

Mengingat bahwa COVID-19 membatasi setiap individu untuk keluar rumah dan terdapat berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah seperti halnya lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mempengaruhi arus pergerakan barang dan manusia. Kebijakan tersebut semakin merugikan penggiat di sektor bidang pariwisata seperti yang terjadi pada objek wisata di Desa Torosiaje.

Desa Torosiaje merupakan salah satu desa di Provinsi Gorontalo Kabupaten Pohuwato yang sudah dikenal oleh khalayak ramai, baik dalam skala lokal, nasional maupun internasional. Hal itu dikarenakan desa ini memiliki objek wisata yang cukup indah untuk dinikmati para wisatawan, terutama wisatawan penikmat laut. 

Desa berpenduduk 1.442 Jiwa, Laki-Laki 697, perempuan 745, dan 419 kepala rumah tangga yang tersebar di 4 Dusun (Dusun Tanjung Karang, Mutiara, Sengkang dan Bahari Jaya). Mayoritas penduduk desa ini memeluk agama islam (100%) serta hampir 100% berprofesi sebagai nelayan. Walaupun demikian, terdapat beberapa keluarga yang memiliki pekerjaan sampingan seperti ojek perahu, homestay, kios dan rumah makan.

Masyarakat Desa Torosiaje sebagian besar adalah suku Bajo yang identik dengan kearifan lokalnya, serta terdapat beberapa suku lainnya yang hidup berdampingan hingga saat ini yaitu suku Bugis, Gorontalo, Tomini, Banjar, Kaili, Cina, Sangihe, Minahasa, Toraja, Makassar, dan Bone. 

Secara geografis desa ini berada diatas permukaan laut dengan waktu tempuh dari pusat Kota Gorontalo mencapai 6-8 jam. Kemudian akan dilanjutkan dengan transportasi laut yaitu perahu ketinting dengan waktu kurang lebih 2-3 menit perjalanan. Harga transportasi perahu pun cukup terjangkau berkisar antara Rp. 3.000-Rp. 5.000 perrorangang.

Arsitektur rumah yang mengapung di atas laut menjanjikan pesona yang unik, desa ini menyajikan landscape panorama desa terapung yang begitu memanjakan mata. Keindahan bawah laut dapat dimanfaatkan untuk diving maupun snorkling. Terdapat juga pulau-pulau berpasir putih yang begitu indah, serta hamparan ekosistem pesisir dan laut (Mangrove, terumbu karang dan lamun), serta masyarakat suku bajo yang identik dengan kearifan lokal. Itulah sedikit kelebihan desa ini sehingga menarik perhatian banyak wisatawan dari berbagai penjuru untuk datang menikmati dan melihat, merasakan secara langsung panorama yang terdapat di desa ini, serta dapat menikmati kehidupan masyarakat suku Bajo.

Tak sekedar menjanjikan panorama, Desa Torosiaje juga memiliki potensi perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi yang dapat dinikmati oleh para wisatawan, seperti Lobster, ikan kuwe/bobara, gurita, Kerapu, Goropa, serta berbagai jenis ikan karang lainnya. Untuk menikmati berbagai hidangan ini, para wisatawan hanya menyiapkan uang sebesar Rp. 25000-Rp. 50.000/porsi.

Wisata Desa Torosiaje merupakan salah satu sektor yang berdampak signifikan terhadap aktivitas dan kehidupan masyarakat serta perekonomian masyarakat. Parameter itu dapat dilihat dari kunjungan wisatawan per minggunya, baik yang menginap beberapa hari maupun yang hanya pulang pergi. Wisatawan yang datang akan berdampak secara langsung terhadap perekonomian dan taraf hidup masyarakat, khususnya warga yang memiliki usaha sebagai ojek perahu, rumah makan, kios dan homestay.

Kemunculan COVID-19 memaksa pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar.  Kemunculan COVID-19 dan penerapan peraturan pemerintah secara langsung berdampak pada penurunan pengunjung/wisatawan di Desa Torosiaje. Akibatnya berdampak pada perekonomian masyarakat Torosiaje yang mengandalkan wisata sebagai corong penghasilan warga, khususnya usaha rumahan, homestay, ojek perahu dan kios.

Seperti yang dikatakan beberapa warga, sebelum adanya pandemic COVID-19 menyebar, pendapatan masyarakat cukup meningkat dengan baik, terutama mereka yang memiliki usaha wisata. Peningkatan pendapatan tersebut akibat dari perputaran mata uang yang dilakukan oleh masyarakat lokal maupun dengan hadirnya para wisatawan.

Pengunjung/wisatawan tersebut berasal dari masyarakat lokal seperti dari pegawai/dinas kabupaten maupun Provinsi Gorontalo, mahasiswa, siswa/pelajar, swasta serta masyarakat biasa, wisatawan nasional seperti pengunjung dari luar Provinsi Gorontalo bahkan ada yang dari luar negeri atau wisatawan asing. 

Seperti yang dikatakan oleh beberapa narasumber yang memiliki homestay bahwa dulu pendapatan dari homestay bisa mencapai kurang lebih Rp. 3 juta – Rp. 5 juta per bulan. Hal itu dikarenakan terdapat pengunjung yang menginap hampir setiap hari. Namun saat ini dengan adanya pandemi, pendapatan pun turun drastis, bahkan mau memperoleh pendapatan 1 juta – 2 juta pun begitu sulit, karena pengunjung mulai berkurang. Dalam kurun waktu 1-2 minggu selama pandemi COVID-19, hanya terdapat 1 atau 2 pengunjung wisatawan yang menginap, itupun hanya 1 malam atau 2 malam.  Bahkan terdapat  beberapa homestay yang sama sekali tidak ada pengunjung/wisatawan untuk untuk menginap.

Hal yang serupa dirasakan oleh beberapa narasumber yang memiliki rumah makan, kios dan ojek perahu. Menurut mereka bahwa saat ini cukup sulit memperoleh pendapatan yang lebih bagus karena pengunjung turun drastis. Saat ini ojek perahu hanya beroperasi 4-5 kali dalam sehari. Sebelum adanya pandemi ojek perahu bisa beroperasi dari pagi sampai malam dengan kisaran operasi bisa mencapai 10 kali maupun lebih. Sehingga pendapatan saat itu bisa mencapai Rp. 500 ribu – 1 juta per bulan. 

Sedangkan bagi rumah makan, selama 1 minggu hanya terdapat 2-3 orang pengunjung wisatawan yang makan, bahkan terdapat rumah makan yang terlihat sunyi. Kemudian bagi masyarakat yang memiliki kios rata-rata pendapatan perbulan bisa mencapai Rp.1 -2 juta, namun saat ini turun drastis mencapai Rp. 500 ribu sampai 1 juta per bulan. 

Diperhadapkan pademi COVID-19 yang mengakibatkan krisis pada sektor perekonomian, masyarakat Desa Torosiaje tetap melakukan aktivitas dan terus berupaya bertahan pada situasi yang tidak menentu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mereka selalu berharap keadaan ini segera berakhir dan menjalani kehidupan normal seperti sedia kala, tentu dengan perputaran perekonomian yang membaik.*

Penulis adalah anggota Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (JAPESDA) yang berkegiatan pengelolaan perikanan gurita dan sebagai pendamping di Desa Torosiaje, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *