Japesda- Pagi itu, Senin (23/09) laut terlihat ramai oleh perahu nelayan. Nampan besar terapung di atas air, nampan ini berisi Kukis (kue), nasi, ikan dan air putih. Nampan ini adalah sesajen atau seserahan yang diperuntukkan oleh para leluhur dengan harapan penutupan lokasi area tangkap gurita periode ketiga di Desa Torosiaje ini berjalan lancar dan mendapatkan hasil yang diinginkan.
Dipandu oleh Siding Salihin selaku pelaksana kegiatan ritual dan Badarun Darise pembantu dalam pelaksanaan ritual adat, Tiba Kalongko dilaksanakan. Tiba Kalongko adalah upacara adat untuk menghormati para leluhur dan dilakukan sebagai bentuk rasa syukur terhadap hasil laut dan rezeki yang diberikan serta keselamatan untuk para nelayan yang sedang melaut.
“Ini adalah bentuk rasa syukur kepada leluhur karena telah menjaga nelayan dan memberikan hasil laut yang melimpah,” ujar Siding Salihi setelah memandu ritual.
Pelaksanaan ritual ini menurut pengakuan Siding sebelumnya hanya akan dilakukan di laut saja, tidak dilakukan di darat. Namun, setelah melakukan diskusi dengan para leluhur melalui bahasa yang hanya dimengerti oleh tokoh adat, Siding pun memutuskan untuk melakukan ritual ini di darat dan di laut. Pada diskusi ini, Siding juga diberikan petunjuk untuk mengganti isi nampan sesajen yang awalnya berisi: Ayam, ubi-ubian, nasi yang terdiri dari 3-4 warna beserta tembakau, dipermudah menjadi: Kue, nasi, ikan dan air putih.
Menurut Jalipata Tuheteru selaku fasilitator desa, ritual seperti ini memang wajib dilakukan ketika pelaksanaan penutupan maupun pembukaan area tangkap gurita. Ini adalah salah satu gambaran penting keterikatan masyarakat Desa Torosiaje dan laut yang telah mengakar dan lama dipegang oleh masyarakat setempat,
“ini adalah kepercayaan yang telah melekat erat dengan Masyarakat Desa Torosiaje, dan hubungan ini akan terus mereka jaga dengan melakukan ritual-ritual penghormatan,” ujar Jali menjelaskan.
Jali juga menambahkan bahwa dalam penutupan lokasi tangkap gurita ini sebelumnya telah didiskusikan bersama aparat desa terkait, tokoh agama, tokoh perempuan dan kelompok Nelayan Sipakullong, dalam diskusi ini mereka bersepakat menutup dua pulau yaitu Pulau Torosiaje Kecil dengan luasan 127 Ha dan Pulau Torosiaje Besar dengan luasan 154 Ha. Kedua pulau ini dipilih karena pengalaman dari dua periode penutupan sebelumnya yang setelah dibuka menghasilkan gurita lebih banyak dan bobot yang lebih besar. Sama seperti periode sebelumnya, rencananya penutupan akan berlangsung selama tiga bulan. **