Japesda- Gembor-gembor transisi energi mulai digaungkan sejak menjadi salah satu topik utama dalam pembahasan presidensi G20 Indonesia tahun 2022. Hal ini dianggap sebagai salah satu inovasi pengurangan emisi karbon dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Untuk melakukan inovasi ini, muncullah kebijakan Folu Net Sink 2030, demi mengurangi emisi pemerintah membolehkan terjadinya konversi hutan, tentu saja sasaran utama adalah hutan-hutan adat dan hutan alam Indonesia yang akan berubah fungsi menjadi Hutan Tanaman Energi (HTE).
Pembukaan lahan untuk produksi pelet kayu dilakukan di hampir semua hutan-hutan Indonesia, tak terkecuali Provinsi Gorontalo, tercatat telah 29 hektar hutan Gorontalo telah beralih fungsi menjadi HTE. Tentunya hal ini menjadi sebuah ancaman baru yaitu deforestasi hutan.
Untuk melihat perkembangan yang terjadi di Grorontalo, Senin, 27 Mei, Japesda bersama Forest Watch Indonesia (FWI) melakukan diskusi terbuka bersama Pemerintah Daerah Provinsi Gorontalo di Hotel Aston. Pada diskusi ini Khaeruddin dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengungkapkan bahwa Gorontalo menjadi salah satu daerah yang sangat digenjot untuk membangun HTE,
“padahal jika dipikirkan lagi, luas area Provinsi Gorontalo ini sangat kecil dibandingkan dengan luas area daerah lain di Sulawesi, tapi Gorontalo menjadi salah satu provinsi yang sangat getol membangun Hutan Tanaman Energi,” ujarnya pada pemaparan materi di FDG: Pembangunan Hutan Tanaman Energi Gorontalo, Senin (27/5).
Dalam pemaparannya, Khaerul juga memaparkan beberapa tahapan yang harus dilakukan pelaku usaha untuk mendapatkan ijin usaha, di mulai dari permohonan melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), ketika permohonan disetujui baru dikeluarkan surat persetujuan komitmen, dalam persetujuan komitmen perlu untuk menyusun dokumen lingkungan di mana dokumen ini harus berbasis lingkungan untuk mendukung Forest and Other Land Use (FOLU) Net Sink, dan juga beberapa persyaratan lainnya. Jika syarat ini dipenuhi perijinan akan diterbitkan.
Sedangkan, di Provinsi Gorontalo, terdapat enam Perusahaan Energi yang ke enamnya baru berada pada tahap persetujuan komitmen, beberapa di antaranya ada PT. Gorontalo Citra Lestari, PT. Lumintu Ageng Lestari Joyo, PT. Sorbu Agri Energi, PT. Keia Lestari Indonesia, PT. Inti Global Laksana dan PT. Bayan Tumbuh Lestari.
“Pelaksanaan mitigasi Provinsi Gorontalo arahan FOLU Net Sink lebih ke real (reduce impact loging) yang belum berijin lebih dominan ke RO 11 (konservasi tingkat tinggi) dan RO 8 (Peningkatan cadangan karbon),” lanjut Khaerul.
Tak hanya itu, proyek nasional PLN adalah melakukan co-firing atau pengurangan penggunaan batu bara sebanyak 23% dan digantikan dengan bahan bakar alam atau biomassa. Untuk memenuhi konsep co-firing, di tahun 2020-2021, PLTD Provinsi Gorontalo mencoba penggunaan lamtoro, namun ternyata hal ini berujung merusak alat oprasional,
“mesin diesel yang kami gunakan tidak didesain untuk menggunakan bahan tersebut sehingga merusak beberapa peralatan, jadi hal ini coba kami maksimalkan dengan penggunaan biomassa berupa woodchips sebesar 5-10% di PLTU Anggrek,” ujar Wisnu Wardani. Tak hanya itu PLN juga pernah mencoba penggunaan tongkol jagung sebagai sebuah inovasi terbarukan, namun hal ini juga berujung sama dan mengakibatkan kerusakan pada alat-alat oprasional yang digunakan.
“Sejauh ini kami hanya bisa menurunkan emisi sebanyak 6%” Lanjutnya.
Menurut Abd. Rahmat Kobisi selaku Staf Dinas ESDM Provinsi Gorontalo angka 23% terbilang sangat besar dan sulit untuk dicapai, hal ini bisa dimaksimalkan dengan sumber daya ekologi yang ada menurutnya Gorontalo adalah salah satu wilayah dengan tingkat ekologi yang sangat besar untuk menunjang energi terbaharukan, sehingga pembicaraan tidak hanya mengenai HTE saja,
“Gorontalo mempunya potensi yang sangat besar bahkan bisa lebih dari 23%, PLN bisa disuplay dengan kapasitas geoterma yang ada di Gorontalo, artinya dengan panas bumi saja sudah cukup untuk menyuplay sebanyak 70%,” ucapnya.
Gorontalo dengan kekayaan hutannya, memiliki banyak sekali potensi ekologis, salah satunya adalah hutan alam yang mengandung geoterma di kawasan Tanam Nasional Bogani Nani Wartabone. Tak hanya itu, beberapa percobaan lain pernah dilakukan seperti penggunaan tongkol jagung, kulit kemiri, lamtoro, sorgum, bahkan di Desa Rumbia, Botumoito, Boalemo, warga setempat pernah memanfaatkan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan menggunakan kandungan etanol tumbuhan aren sebagai bahan bakar utama sepeda motor dan keperluan masak.
Seharusnya ini cukup sebagai inovasi Energi Terbaharukan untuk kepentingan pembangkit listrik di Provinsi Gorontalo, namun jika dilihat data menunjukkan bahwa pelet kayu sebenarnya tidak digunakan untuk kepentingan pembangkit listrik di area Gorontalo, tapi untuk kepentingan ekspor ke Jepang dan Korea Selatan,
“Korea Selatan dan Jepang mengklaim energi terbaharukan tapi keanekaragaman hayati, DAS dan ekosistem penting lainnya hilang di Gorontalo,” ujar Nurain Lapolo selaku Direktur Japesda.**