Japesda – Selama ini isu transisi energi memiliki narasi yang baik dalam hal mendukung keberlanjutan lingkungan. Namun di sisi lain, ternyata transisi energi memiliki dampak terhadap potensi hilangnya hutan atau deforestasi di Gorontalo. Topik ini yang menjadi pembahasan utama dalam FGD yang diselenggarakan Japesda bersama FWI (Forest Watch Indonesia) melibatkan CSO, media, dan akademisi di Gorontalo, yang dilaksanakan pada hari Minggu, 3 Maret 2024.
Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi dan Media di FWI, menjelaskan tentang kekhawatirannya mengenai transisi energi yang justru menjadi salah satu pemicu baru dalam hal kerusakan sumber daya alam di Indonesia. Dalam konteks Gorontalo, temuan dari FWI menjelaskan aktifitas salah satu perusahaan yakni PT Biomassa Jaya Abadi yang melakukan ekspor wood pellet ke Korea Selatan dan Jepang.
Anggi memaparkan data-data mengenai kebijakan transisi energi melalui biomassa dan rencana pengalihan hutan alam menjadi hutan tanaman energi, berdasarkan data ekspor kayu sejak Oktober 2023 hingga Februari 2024 yang terjadi di Gorontalo. Dijelaskannya, kayu dan sekam dalam perencanaan pengurangan emisi PLN akan menjadi salah satu pembangkit energi pengganti batu bara.
“Di mana dalam perencanaan ini diperlukan paling sedikit 23% sekam maupun kayu dari presentase 100% penggunaan batu bara. Sekam dan kayu ini nantinya akan dibakar dan dijadikan biomasa. Metode ini dapat disebut juga dengan co-firing. Untuk memenuhi kebutuhan 23% ini, PLN menargetkan pembukaan lahan besar-besaran untuk menggunakan pohon kayu sekitaran 14 juta ton kayu,” jelas Anggi.
Untuk pemenuhan biomassa yang besar-besaran, KLHK sudah membangun 1,3 juta hektar hutan tanaman energi di indonesia. Di Gorontalo sendiri tercatat ada sekitar 29 hektar hutan tanaman energi.
Menurut Anggi, dalam dua tahun terakhir bisnis bio energi akan semakin masif karena ingin mencapai target emisi energi terbarukan yang baru mencapai 11,7% di tahun 2023. Hal ini akan berimbas pada konversi hutan alam maupun hutan adat. Dalam dokumen kebijakan Folu Net Sink 2030, demi mengurangi emisi maka membolehkan terjadinya konversi hutan alam. KLHK akan membangun hutan tanaman baru dengan konsep rehabilitasi, dan nantinya akan ditanami dan ditebang lagi.
“Konsep bio selalu dipahami sebagai konsep berkelanjutan tanpa mengindahkan deforestasi besar-besaran yang terjadi di hutan-hutan Indonesia untuk mengklaim energi bersih,” ucap Anggi.
Selain terjadinya deforestasi dan pengalihfungsian lahan, hal yang perlu diantisipasi adalah pembukaan lahan yang tidak mempertimbangkan keragaman flora dan fauna yang ada di hutan-hutan Gorontalo.
“Jika melihat proses perizinannya, kami menduga aktifitas perusahaan yang melakukan ekspor wood pellet, 99 persen-nya berasal dari deforestasi di hutan Pohuwato. Ini harus ada langkah mitigasi untuk mencegah hilangnya hutan Gorontalo,” kata Anggi.
Sebelumnya, Renal Husa dari Japesda memaparkan tentang potret deforestasi di Provinsi Gorontalo. Menurutnya deforestasi yang terjadi di Provinsi Gorontalo paling besar dialami oleh Kabupaten Pohuwato, disusul Gorontalo Utara dan Bone Bolango. Alih Fungsi lahan ini banyak terjadi diperuntukkan sebagai lahan pertambangan, perkebunan, seperti tanaman monokultur sawit.
“Beberapa pengalihfungsian lahan paling besar terjadi di Cagar Alam Panua, Cagar Alam Tanjung Panjang dan Suaka Margasatwa Nantu,” ujar Renal.
Selain Renal, FGD tersebut juga menghadirkan pembicara dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Gorontalo, yang diwakili oleh Wawan Akuba dan juga editor Tribun News Gorontalo. Wawan memberikan pandangannya mengenai deforestasi dari perspektif media. Menurutnya, liputan mengenai transisi energi di Gorontalo tidak pernah menyentuh hal paling dasar yaitu deforestasi dan sebagian wartawan bahkan masih asing dengan hal ini.
“Adanya keterbatasan wartawan dalam pencarian data dan tuntutan cepat dalam menyiarkan berita menjadikan kami sering menulis berita sekenannya saja dan terkesan seremonial,” ucapnya.
Hal ini juga sejalan dengan apa yang diucapkan oleh Faradila Alim, salah seorang jurnalis dari iNews. Ia menyebut, sebagai salah satu jurnalis mainstream di Gorontalo dirinya mengaku kendala utama dalam peliputan adalah adanya tuntutan berita perharinya dan hal ini tidak secara spesifik dari satu isu saja, namun dari berbagai peristiwa di Gorontalo.**