Outdoor Adventure

Hidup Sebagai Nelayan: Perjuangan yang Tidak Berkesudahan

UWEDIKAN − Nelayan dan laut adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Ketika melaut, kemahiran nelayan dalam menjalankan perahu dan kemampuan membaca cuaca, tentu saja akan menjadi penunjang perjalanan. Laut dengan segala cuacanya yang tidak menentu itu, akan ditaklukkan oleh pengalaman dan keuletan bertahun-tahun berlayar di lautan. Namun kepekaan membaca cuaca ini, tidak lagi berguna di depan cuaca ekstrim yang diakibatkan oleh pemanasan global.

Sejak tahun 1992, isu pemanasan global mulai menjadi topik perbincangan di seluruh penjuru dunia. Hal ini pertama kali dibahas dalam agenda Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, di mana dalam pertemuan ini pembahasan internasional mulai menyoroti naiknya suhu permukaan bumi sekitar 0,6⁰C selama 100 tahun belakangan. Isu pemanasan global menjadi salah satu isu darurat yang harus dipikirkan bersama.

Tentu saja, naiknya suhu permukaan bumi, berdampak pula pada naiknya permukaan laut, belum lagi perubahan cuaca ekstrem yang sulit untuk diprediksi. Tentu saja dampak langsung dapat dirasakan di kehidupan sehari-hari nelayan dan hasil tangkapan mereka.

Mansur Tatti, seorang nelayan di Desa Uwedikan, adalah salah satu di antara banyaknya kasus nelayan yang bertemu cuaca buruk ketika melaut. Seperti biasa, pagi itu Mansur berangkat pergi mencari gurita seperti hari-hari sebelumnya.

“Hal itu terjadi beberapa tahun lalu,” kenang Mansur, ketika diwawancarai di pertengahan Mei 2025.

Nelayan Desa Uwedikan. Foto oleh: Arsip Japesda.

Kala itu Mansur bertemu cuaca buruk di luar prediksinya. Hujan deras dan angin kencang menerpa, air memasuki badan perahu. Beban perahu bertambah berat dan hampir menyatu dengan lautan yang luas.

Mansur tidak membiarkan dirinya panik. Dengan cepat namun pasti, Mansur mengambil wadah yang biasanya memang sering ada di perahunya. Ia menyerok air, mengeluarkannya ke lautan; ingin menandingi kecepatan air hujan dan air laut yang memasuki perahunya.

Cuaca buruk adalah hal yang lumrah ditemui di lautan lepas. Peralihan ini bersamaan dengan tanda-tanda alam, sehingga nelayan yang bekerja di lautan lepas bisa menyiapkan diri. Dengan pengalaman kerja sebagai nelayan bertahun-tahun, tentu saja Mansur bisa melihat tanda-tanda ini.

“Sekarang susah. Cuaca tidak menentu. Tiba-tiba hujan berangin, tiba-tiba panas sekali,” ujarnya.

Anomali cuaca yang tidak menentu, tentu saja berdampak signifikan pada hasil tangkapan nelayan, karena arah pandang yang terbatas dan tingkat resiko yang tinggi jika tetap melaut. Bukan hanya itu, baru-baru ini, pemutihan karang atau coral bleaching terjadi di beberapa tempat dan berimbas pula pada perairan Teluk Tomini.

Menurut data yang dihimpun dari Marineconservation, sebanyak 91% terumbu karang mulai mengalami pemutihan karang. Hal ini terjadi sejak Maret 2022, dan terjadi di hampir semua bagian, tidak terkecuali Indonesia. Pemutihan ini adalah kejadian pertama kali sejak terjadinya peristiwa La Nina. Anomali cuaca ini menyebabkan arus yang deras di lautan, peningkatan curah hujan dan mengacaukan simbiosis mutualisme yang terjadi pada ekosistem terumbu karang.

Lebih lanjut dalam Australia Institute of Marine Science, menjelaskan bahwa fenomena pemutihan karang terjadi akibat gelombang panas yang berlebihan, membuat ekosistem karang mengalami stress parah dan mengalami pemutihan.

Ekosistem terumbu karang yang terganggu, menjadi rantai kerusakan paling dasar terhadap pasokan sumberdaya yang tersedia di laut. Ekosisitem terumbu karang adalah rumah bagi banyak biota di laut, rusaknya terumbu karang tentu saja memiliki dampak yang besar dalam siklus kehidupan.

Jika ditarik secara garis lurus, dampak yang sangat dekat dengan nelayan adalah kesehatan, dan juga berturunnya tangkapan nelayan. Jika perut sulit terisi, tentu yang lain juga tidak akan seimbang.

Menurut Anwar Pinios, seorang nelayan gurita di Desa Uwedikan, tangkapan banyak biasanya memiliki bulan-bulan tertentu, di mulai sejak bulan Desember hingga April. Namun dikarenakan cuaca ekstrem yang tidak menentu, membuat Anwar dan teman-temannya menjadi kesulitan dalam membaca cuaca.

“Cuaca tidak menentu, hujan berbulan-bulan bikin kami kesulitan dan tangkapan jadi sedikit,” jelas Anwar.

Dengan kondisi cuaca tidak menentu seperti ini, membuat pendapatan Anwar dan nelayan lain di Desa Uwedikan menjadi kesulitan. Pendapatan mereka yang awalnya berada pada angka Rp1.000.000 per hari berkurang hingga Rp50.000 per harinya.

Menurut Sutrisno, selaku Ketua Umum Federasi Serikat Nelayan Nusantara dalam laporan Tempo.co di 25 Februari 2025, pendapatan nelayan mengalami penurunan yang konsisten selama lima tahun belakang, penurunan ini berada di angka 19,82%. Sutrisno mengatakan, hal ini terjadi karena penggunaan alat berat yang merusak terumbu karang dan faktor cuaca yang membuat kurangnya ketersediaan pasokan sumberdaya di lautan.

Jika kita lihat harga ikan di pasaran menjadi semakin mahal, nelayan pun mengalami dampak yang lebih besar. Bukan hanya perekonomian, masyarakat pesisir juga terancam masalah kesehatan karena dampak pemanasan global.*

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *