Japesda- Memperingati hari Big Bad Biomass pada Senin, 21 Oktober 2024, di bawah Menara Keagungan Limboto Koalisi #SaveGorontalo mengugat pemerintah Provinsi Gorontalo untuk menghentikan konversi hutan dengan iming-iming energi terbaharukan, khususnya 282.100 hektar hutan yang akan dikonversi untuk Perusahaan PT. BTL dan PT. IGL. Koalisi #SaveGorontalo, yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil, menilai bahwa proyek ini hanyalah upaya greenwashing dari korporasi dan pemerintah yang tidak mempertimbangkan dampak ekologis maupun sosial.
Koalisi #SaveGorontalo dengan tegas menyuarakan protesnya. Mereka menolak keras proyek biomassa yang akan menggunduli hutan dan menggantinya dengan tanaman cepat tumbuh hanya untuk dibakar bersama bahan bakar fosil. Renal Husa, Juru Bicara Koalisi, menyampaikan bahwa klaim energi terbarukan dari proyek ini hanyalah ilusi.
“Tidak ada yang berkelanjutan dari praktik menebang hutan dan merusak ekosistem untuk keuntungan jangka pendek,” ujar Renal Husa.
Di sisi lain, Koalisi #SaveGorontalo juga menyoroti bahwa wilayah konsesi proyek ini berada di area rawan bencana, sehingga berpotensi memperburuk risiko ekologis bagi masyarakat sekitar. Ika Mujiono dalam konferensi pers mengungkapkan bahwa kecamatan yang berdekatan dengan konsesi PT. BTL dan PT. IGL, yaitu Kecamatan Lemito, Popayato Barat, Popayato dan Popayato Timur ditetapkan sebagai Kawasan Rawan Bencana Banjir, hal ini mengacu pada dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pohuwato tahun 2012-2032.
Popayato Barat khususnya dalam dokumen yang sama faktanya ditetapkan sebagai salah satu wilayah lindung geologi yaitu Kawasan Lindung Geologi yang berfungsi untuk memberikan perlindungan terhadap air tanah, sedangkan aktivitas PT. BTL dan PT. IGL yang merusak hutan dan menebang pohon tidak sesuai dengan dokumen yang telah disebutkan.
“Keberadaan PT. BTL dan PT. IGL yang merusak hutan alam di Kabupaten Pohuwato justru kontradiktif dengan apa yang tercantum dalam dokumen RTRW,” ujar Ika.
Selain itu, Ika juga menjelaskan bahwa berdasarkan analisis spasial kondisi topografi di dalam konsesi PT. BTL dan PT. IGL didominasi oleh perbukitan sangat curam dan terdapat sungai-sungai kecil yang bermuara langsung ke satu sungai besar yaitu Sungai Malango. Sungai Malango ini oleh warga dimanfaatkan sebagai perairan utama untuk kebutuhan rumah tangga, perkebunan, pertanian dan sawah.
“Adanya aktifitas penebangan hutan yang dilakukan oleh kedua perusahaan ini, dapat menganggu produktifitas pertanian masyarakat karena dalam proses land clearing ditambah terjadi curah hujan dengan intensitas yang cukup tinggi, maka berpotensi menimbulkan erosi dan mengakibatkan kedangkalan sungai. Selain itu mengingat wilayah Pohuwato merupakan kawasan pesisir, sehingga pohon mempunyai peran penting untuk menjaga air tanah dan mencegah terjadinya intrusi air laut,” sambung Ika.
Transisi energi Indonesia tidak akan berhasil jika terus merusak bentang alam, menjadi tantangan bagi kebijakan seperti FoLU Net Sink 2030. Meski pemerintah menargetkan rehabilitasi jutaan hektare lahan, realisasinya hanya sekitar 30 ribu ha per tahun, yang berarti butuh lebih dari 1.000 tahun untuk menyelesaikannya.
Dalam konteks ini, PT Inti Global Laksana (IGL) dan PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) menjadi sorotan. Kedua perusahaan ini beroperasi dengan izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui namun laporan investigasi dari Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa mereka terlibat dalam praktik tebang habis (land clearing) untuk memperoleh kayu alam sebagai bahan baku wood pellet. Hal ini bertentangan dengan tujuan rehabilitasi dan perlindungan hutan yang seharusnya menjadi fokus utama.
Perusahaan ini beroperasi melalui SK.3102/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/5/2020 dengan luas 11.860 Ha dan SK.3103/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/5/2020 dengan luas 15.493 Ha.
Namun, hasil investigasi tim Forest Watch Indonesia (FWI), perusahaan industri wood pellet memanen kayu alam untuk dijadikan bahan baku wood pellet, bukan dari kayu hasil rehabilitasi atau tanam. Perusahaan melakukannya dengan cara tebang habis (land clearing). Laporan resmi dari lembaga sertifikasi PT Equality Indonesia mengungkap bahwa perusahaan industri hanya menebang 2 jenis pohon, yakni Jambu-Jambu dan Nyatoh. Pada ekspor ke 22, jenis kayu yang ditebang langsung berubah menjadi 6 jenis kayu tertanggal 26 Agustus 2024.
Data FWI menunjukan deforestasi yang terjadi di dalam konsesi PT IGL dan BTL sepanjang tahun 2021 sampai 2023 sebesar 1087,25 Ha. Dari luas konsesi kedua pemasok bahan baku kayu hutan alam untuk PT BJA tersebut, sekitar 65 persennya masih berupa hutan alam. FWI mendefinisikan hutan alam tersisa di dalam kedua konsesi tersebut masuk ke dalam skema deforestasi terencana dari KLHK.
Hal ini tidak sesuai dengan agenda transisi energi Indonesia yang tidak memanfaatkan kayu hutan alam sebagai bahan baku bioenergi.
Praktik ini menunjukkan bahwa langkah-langkah yang diambil dalam transisi energi Indonesia belum sepenuhnya mempertimbangkan dampak ekologis dan sosial yang ditimbulkan.
Renal Husa mengungkapkan bahwa hal ini adalah hal darurat dan perlu untuk diketahui Masyarakat Gorontalo, karena nantinya dampak dari deforestasi hutan alam akan dirasakan oleh Masyarakat itu sendiri. Menurutnya aksi unjuk rasa di jalan utama Limboto ini adalah momen penting untuk menggalang suara rakyat,
“pada momen ini, kami ingin menggalang dukungan publik luas sekaligus menuntut agar proyek biomassa ini segera dihentikan.” **