Rinto (kanan) nelayan
Penulis: Zulkifli Mangkaw
Japesda, Luwuk Banggai – Anwar Pinous (40) sore itu begitu gembira. Dia heran bukan kepalang dengan hasil yang ia dapatkan saat turun melaut. Gurita yang bobot-nya berkisar dua sampai tiga kilogram berhasil ia tangkap. “Semua ini berkat penutupan sementara”, kata Anwar, “Saya merasakan betul dampaknya”.
Keheranan itu berawal sejak dibuka kembali lokasi tangkapan gurita di desanya setelah ditutup selama tiga bulan lamanya; ditutup pada 20 Agustus dan dibuka kembali pada 20 November 2021 dengan acara seremonial. Wajah sumringah Anwar dan para nelayan yang hadir di acara seremonial pembukaan terpancar, mereka seperti menanti sesuatu yang selama ini hilang dan akhirnya telah datang kembali ke dalam pelukan.
“Gurita yang saya dapat besar semua bobotnya, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang ukurannya kecil,” ujar Anwar kepada saya saat berbincang santai tentang hasil yang dia dapatkan selama bulan Desember 2021 kemarin, hingga awal tahun Januari 2022.
Anwar sendiri menjadi nelayan gurita sudah lama, sedari masa kanak-kanak hingga kawin-mawin dan mendapatkan anak dan dikaruniai cucu. Anwar adalah nelayan asal desa seberang, yang berada di Kabupaten Banggai Kepulauan, akan tetapi, setelah menikahi perempuan Uwedikan, ia memilih menetap dan mulai terdaftar sebagai warga desa Uwedikan, Luwuk Timur, Banggai, Sulteng.
Anwar sendiri, meskipun sibuk turun melaut, selalu menyempatkan waktunya belajar bersama kelompok yang ikuti sampai memegang jabatan sebagai sekretaris di Kelompok Pengelola Usaha Konservasi (KOMPAK), yang didampingi oleh Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) Gorontalo beberapa tahun terakhir.
Japesda sendiri sudah melakukan pendampingan dan pemberdayaan di desa Uwedikan sejak tahun 2017 dan berlanjut hingga sekarang ini dengan program memperkuat konservasi laut berbasis masyarakat dan pengelolaan perikanan berkelanjutan. Salah satu yang menerima manfaat program Japesda ini ialah Anwar dan para nelayan gurita yang ada di desa Uwedikan lainnya.
Anwar dan para nelayan di desa umumnya tidak mengetahui tentang Program Temporary Closure (Penutupan Sementara) atau buka tutup sementara yang dikenalkan oleh Japesda. Perkenalan antara nelayan dan Japesda sehingga menyepakati adanya penutupan sementara adalah pada data. Peran enumerator lokal yang selalu mendata hasil gurita tangkapan nelayan setiap harinya, yang kemudian dipaparkan kembali melalui Data Feedback Session (DFS) atau umpan balik data menjadi factor kunci.
Setiap data yang dikumpulkan lalu dikembalikan kepada nelayan dan masyarakat melalui DFS punya peran penting. Dari umpan balik data dapat dilihat bagaimana besaran tangkapan, bobot tangkapan, lokasi menangkap, biologi gurita, alat tangkap yang digunakan. Saat semua terdata kemudian dilakukan analisis, dan hasilnya akan terlihat. Berapa total tangkapan nelayan, baik jantan dan betina, berat tangkapan rata-rata, pendapatan kotor nelayan per bulan, dan lokasi paling sering dikunjungi oleh nelayan. Pada lokasi yang sering dikunjungi itulah, potensi penutupan sementara bisa dilakukan karena melihat tren tangkapan yang ada di data.
Dari pelaksanaan umpan balik data juga, baik masyarakat atau nelayan mulai melek dengan potensi perikanan yang ada di desa mereka, karena data membuktikan apa yang sebenarnya mereka tidak ketahui selama ini. Kurangnya akses atau ruang pengetahuan yang tidak dibuka atau diberikan kepada masyarakat dan nelayan, bisa memicu banyak masalah di desa, khususnya pada masyarakat pesisir.
Potensi tidak akan terlihat atau terbaca, jika akses pengetahuan tersebut terputus, makanya proses pendataan perlu dilakukan sebagai upaya menjembatani hal yang terputus tadi; yang kerap kali selalu diabaikan oleh pihak-pihak yang sebenarnya bekerja untuk itu, sehingga Japesda hadir mengisi ruang-ruang kosong tersebut yang tidak dilakukan oleh banyak pihak–pemerintah.
“Semua ini terletak pada data. Biarkan data yang bicara,” kata Rahmat AP, alias Mamat, sapaan akrabnya. Mamat adalah pendata lokal Japesda di desa Uwedikan.
Menyepakati dengan Musyawarah.
Keputusan melakukan penutupan sementara memang tidak lahir begitu saja, ia melalui proses yang panjang. Karena kesepakatan itu diambil langsung oleh para penerima manfaat, yakni nelayan. Keputusan sepihak tanpa ada kesepakatan bersama dalam menutup wilayah tangkap gurita selama tiga bulan hanya memunculkan satu jawaban—chaos. Menanggapi hal itu, maka keputusan bersama masyarakat melalui musyawarah sampai mufakat, yang turut dihadiri oleh nelayan, masyarakat, dan pemdes adalah jawabannya.
Irham Summang, Ketua KOMPAK Uwedikan mengatakan, keputusan menutup sementara lokasi tangkapan gurita di desa harus diambil secara bersama, tidak boleh dilakukan sendiri oleh satu pihak. Mengingat wilayah tangkap yang ada di desa Uwedikan bukan hanya dinikmati nelayan di desa, tapi juga nelayan dari luar desa yang menangkap gurita di wilayah perairan desa Uwedikan.
“Kesepakatan bersama penting dilakukan, kalau sudah sepakat, berarti sama-sama kita menjaga keputusan tersebut,” ujar Jon sapaan akrab dari Irham. Panggilan Jon melekat karena tubuhnya yang kekar seperti petinju atau pemain smackdown—Jhon Cenna.
Musyawarah akhirnya dilakukan, Japesda turut memfasilitasi pertemuan antar nelayan gurita di desa. Dalam pembahasan turut dibahas lokasi yang akan ditutup, dan pijakan pengambilan lokasi berangkat dari hasil DFS, yang menunjukan lokasi yang paling dikunjungi dan memiliki potensi tangkapan yang tinggi di wilayah tersebut.
Dalam data Japesda sendiri, ada 7 lokasi tangkap yang sering dikunjungi nelayan, di antaranya: Balean, Marabakun, Putean, Pulau Dua, Pulau Panjang, Toduka (Togong), dan terakhir Bilalang. Semua lokasi itu masuk wilayah administrasi Uwedikan.
Data menunjukan, wilayah Balean paling sering dikunjungi nelayan dalam menangkap gurita, disusul Bilalang peringkat kedua, dan ketiga ada Putean dan Marabakun. Namun, pada pembahasan itu hanya ada lima lokasi yang dipilih, yakni Balean, Marabakun, Putean, Pulau Dua dan Pulau Panjang, yang akan ditutup selama tiga bulan.
Pada pemetaan lokasi yang dilakukan Japesda dan anggota KOMPAK terhadap lima lokasi tersebut, luasan yang didapatkan sebanyak 113 Ha. Pemetaan partisipatif dilakukan dengan melibatkan masyarakat atau nelayan yang secara langsung berhadapan dengan lokasi tersebut. Pada pertemuan itu, kesepakatan telah lahir, akan menutup lima lokasi dengan luasan 113 ha. Sedangkan wilayah lainnya seperti Bilalang dan Toduka tidak ditutup, melainkan disimpan sebagai cadangan lokasi yang masih bisa dimanfaatkan selama lokasi yang lain ditutup. Alternatif menangkap juga bisa dilakukan di lokasi desa tetangga, tapi, butuh waktu dan tidak sedikit membutuhkan biaya tambahan seperti bensin dan bekal selama perjalanan.
Setelah mufakat didapatkan, kemudian usulan yang dilakukan ialah melakukan sosialisasi di desa tetangga. Sebab, banyak dari desa tetangga yang menggantungkan belanga alias penghidupan di wilayah Balean yang akan ditutup.
“Nelayan yang dari desa Kayutanyo itu banyak yang menangkap gurita, umumnya orang Bajo yang sering melakukan aktivitas menangkap di Balean. Jadi perlu dilakukan sosialisasi biar mereka tahu dan khawatirnya tidak terjadi salah paham nanti,” kata Jon.
Sebenarnya kekhawatiran Jon terletak pada pemahaman nelayan atau masyarakat pada umumnya soal penutupan sementara yang terkesan seperti “privatisasi” lokasi tangkap di desa, dan tidak bisa diaksesnya wilayah tersebut oleh nelayan. Sedangkan laut, mengikut perkataannya, tak ada yang bisa melarang, tidak aturan kavling pribadi di laut, makanya perlu dilakukan sosialisasi, “Di Kayutanyo itu banyak orang yang keras terhadap aturan baru, apalagi soal laut”.
Potensi masalah itu dibaca, lagi-lagi Japesda dan KOMPAK melakukan sosialisasi di desa tetangga yang terlibat dan memanfaatkan potensi perikanan yang secara administrasi masih berada dalam desa. Dari target empat desa tetangga yang akan dilakukan sosialisasi, yang bisa dan mudah dijangkau secara akses ialah Kayutanyo. Sedangkan desa tetangga seperti Bonebakal, Poroan, Nipa, Bantayan, dan Sirom tidak tersentuh karena akses yang lumayan jauh.
“Kita nanti bisa bilang ke mereka saat melakukan pengawasan, kan ada patrol nanti, tugasnya yang patroli yang akan memberitahu informasi soal buka tutup ini,” kata Baharudin Bandu, selaku ketua bidang patroli dan pengawasan di KOMPAK.
Musyawarah telah dilaksanakan, sosialisasi baik di desa dan desa tetangga telah dilakukan, pembagian petugas pengawasan yang akan melakukan patroli juga telah dibagi merata. Tibalah saatnya hari penutupan itu dinanti.
Acara seremonial digelar, Kades Uwedikan, Lapulo, memberi sambutan dalam kegiatan tersebut. Katanya, program penutupan sementara yang diinisiasi oleh Japesda sangat bagus untuk masyarakat desa Uwedikan, dan itu perlu didukung baik masyarakat dan nelayan.
“Sudah bilang ke masyarakat lain juga soal buka tutup sementara ini. Semoga hasilnya bisa dirasakan khususnya oleh nelayan,” kata Lapulo, kades dua periode tersebut.
Setelah sermonial selesai, nelayan, pemdes, dan masyarakat umumnya secara bersama-sama menurunkan buih/pipa dan bendera tanda larangan di titik-titik lokasi yang telah ditentukan. Sekiranya ada 35 buih yang disebar sebagai penanda bahwa mulai tanggal 20 Agustus, lima lokasi yang telah disepakati secara bersama dengan luasan 113 hektar akan ditutup selama tiga bulan. Nelayan gurita harus menahan dahaga selama 90 hari lamanya. Untuk menyenangkan hati, para nelayan menyepakati bahwa apa yang mereka lakukan bukan semata-mata menutup mata pencaharian, tapi melainkan melakukan tabungan.
Hari pertama patroli telah dilaksanakan, memang tak kendala dan hambatan. Baru lah masalah terbaca di pertengahan, atau usia penutupan memasuki hari ke-40, atau tersisa 50 hari lagi akan dibuka. Kecurigaan terhadap aktivitas menangkap ikan di malam hari yang dilakukan oleh orang dari luar desa dicurigai tidak hanya memanah ikan saja melainkan juga gurita. Sadar akan hal itu, anggota KOMPAK berkumpul kembali, mereka membahas masalah yang ada bersama Japesda. Kesepakatan baru muncul, patroli yang awalnya dilakukan hanya tiga kali dalam seminggu dan berhenti di sore hari. Kini diubah dan disepakati menjadi rutin setiap hari dan berlaku sampai malam hari.
“Ini untuk menjaga orang luar biar tidak sembarangan memanah, ikan boleh tapi gurita jangan,” ucap ketua KOMPAK.
Panen Telah Tiba
Hari demi hari berlalu begitu cepat. Tak terasa 90 hari berhasil dilewati oleh nelayan Uwedikan untuk berpuasa tidak menangkap gurita di area yang telah disepakati. Meski banyak masalah yang terjadi, komitmen untuk tidak menangkap tetap dijalankan oleh nelayan.
Pada tanggal 20 November 2021, acara seremonial pembukaan lokasi tangkapan atau pembukaan penutupan sementara dilangsungkan. Tim fasilitator dari Japesda mempersiapkan segalanya, baik menghadirkan Benyamin Pongdatu selaku Kadis Kelautan dan Perikanan, Banggai, dan juga perwakilan DKP Provinsi bidang KKP3K yang turut meramaikan acara pembukaan tersebut, meski harus menuntaskan malam yang panjang dari Palu menuju Uwedikan.
Dalam sambutannya, pihak DKP Provinsi menjelaskan, langkah awal nelayan atau masyarakat desa untuk mengelolanya dengan model buka tutup ini adalah tindakan nyata untuk menjaga laut. Proses pengelolaan ini berkelanjutan dan bisa memberikan dampak yang positif bagi nelayan dan ekosistem laut terjaga. Wilayah Uwedikan sendiri yang terletak dalam wilayah 9 dalam RZW-KKP3K dalam hal ini statusnya masuk dalam kawasan konservasi perlu didorong dengan model pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Seperti yang telah dilakukan oleh nelayan dengan model penutupan sementara.
Benyamin, Kadis DKP Banggai itu, memberikan sambutan tak begitu lama, sebab ia sedang dalam rangka perjalanan dinas di desa tetangga, tapi masih menyempatkan waktu untuk hadir dalam acara pembukaan. Ia hanya mengatakan, cukup bangga melihat nelayan Uwedikan yang mau mengelola wilayah laut dan wilayah tangkapan mereka dengan baik. Ia juga menitipkan, akan segera memperlancar usulan proposal bantuan kapal yang diusulkan kelompok Teluk Arjuna—kelompok binaan DKP Banggai yang terdaftar.
“Kapal bantuan akan segera keluar, harapannya bisa dimanfaatkan secara baik-baik oleh nelayan,” kata Kadis.
Waktu yang dinanti sudah tiba. Proses pemberian alat tangkap ke nelayan oleh Pemdes, DKP Provinsi, dan Kadis DKP Banggai adalah tanda dibukanya lokasi yang telah dilakukan penutupan sementara.
Para nelayan telah bersiap, baik perempuan dan laki-laki berlomba-lomba menjadi yang pertama menangkap gurita di lokasi yang telah dibuka. Sasaran para nelayan tak lain adalah wilayah Balean, yang menjadi lokasi favorit. Baik Kades, DKP Provinsi, elemen masyarakat dan tokoh agama turun serta melaut. Ingin merasakan sensasi mencari gurita.
Hari itu, matahari memang terik, sudah tidak pagi lagi buat nelayan. Perahu-perahu nelayan menyemut di lautan Uwedikan. Bising suara ketinting di mana-mana. Hanya ada satu perahu yang tak bersuara, ditarik oleh perahu lainnya. Nelayan yang di atas perahu itu adalah Arjuna, ia satu-satunya nelayan perempuan yang turun ikut bersama suaminya. Jika kita melihat frame itu, kita bisa membayangkan bagaimana truk yang sedang gandengan di tengah jalan.
“Awalnya saya ikut dengan suami di satu perahu. Tapi saya pikir-pikir lagi, saya naik perahu satu saja, terus digandeng sama suami, biar hasil didapatkan lebih juga,” ungkap Arjuna.
Hari itu memang dewi fortuna memihak pada Arjuna. Dari sekian nelayan yang turun, gara-gara (alat tangkap gurita tradisional yang ramah lingkungan) miliknya, disambar. Suasana laut yang hening pecah tiba-tiba.
“Sudah ini dia. Ini dia,” teriaknya. Sesekali Arjuna melantunkan Bahasa Bajo. Momen itu direspon oleh nelayan lain yang sesame suku dengannya.
“Dua kiloan ada ini. Bisa saya rasa dari sini.”
“Cepat-cepat ke sini. Saya yang memecah telur pertama pas pembukaan ini,” teriaknya lagi.
Arjuna dengan semangat mengangkat hasil tangkapannya. Gurita yang didapatkan lumayan besar. Sekitar 2 kilogram perkiraan beratnya. Ia segera mungkin mendaratkan ke dalam perahu. Umumnya, para nelayan gurita mendaratkan gurita di atas perahu, dan membiarkan badan gurita terkena sinar matahari.
Keterbatasan tidak memiliki wadah seperti cool box untuk menjaga gurita tetap pada kualitas yang baik adalah masalah tersendiri bagi nelayan di gurita di Uwedikan dan mungkin keseluruhan nelayan gurita pada umumnya. Bagi mereka, keputusan membeli coolbox ialah hal kedua, hal pertama adalah bagaimana mendapatkan gurita sebanyak-banyak dan langsung dijual ke pembeli di tingkat desa, agar dapur tetap bekerja.
Strike kedua terjadi. Arjuna mendapatkan tangkapannya lagi. Ukuran gurita yang didapatkan tidak beda jauh dari yang pertama didapatkan. Gemuruh suara saling bersahutan terdengar lagi. Selain Arjuna, Rinto juga mendapatkan gurita. Kemudian disusul Anwar. Rata-rata tangkapan yang didapatkan nelayan berkisar di antara 2 kilogram ke atas. Hari itu sangat pendek, sebab nelayan turun saat waktu sudah menunjukan pukul 11.00 wita. Sudah bukan pagi hari lagi, sudah bukan waktu yang baik untuk mencari gurita.
Momen saat pembukaan kemarin bukanlah hari yang beruntung bagi nelayan yang lain. Tapi, sehari setelahnya dan beberapa hari kemudian, minggu kemudian, bulan kemudian, adalah waktu yang terbaik. Gendang perang seakan telah berbunyi, waktunya panen.
“Saatnya celengan yang ada di tabungan itu harus dipecahkan,” kata Sahri.
Salah satu yang merasakan panen gurita itu adalah pengepul di tingkat desa, yakni Djaenudin dan Tamin. Mereka seperti kena durian runtuh. Kewalahan melayani nelayan yang menyetor hasil tangkapannya.
Tamin misalnya, harus menyediakan anggaran Rp 3 juta dalam sehari dan bisa juga kurang karena banyaknya tangkapan nelayan. Bahkan katanya, modal itu hanya cukup membiayai tangkapan dua orang saja.
“3 juta itu paling cuman bisa membayar gurita dua orang nelayan saja,” kata Tamin, pengepul tingkat desa yang telah lama membeli gurita.
Djaenudin juga berkata demikian, ia senada dengan Tamin. Modal Rp 2-3 juta dalam sehari terasa kurang. Djaenudin menerangkan, untuk hasil tangkapan Anwar saja, ia harus merogoh kantong modalnya cukup banyak. Anwar selalu membawa gurita dalam jumlah banyak dan bobotnya juga lumayan berat.
“Satu kali timbang, hasilnya dia dapatkan paling sedikit 1 juta, dan bisa lebih dari itu,” ujarnya.
Djaenudin juga sebenarnya bukan pengepul tulen, ia juga nelayan gurita. Tapi, melihat banyaknya gurita yang masuk, ia memilih untuk tidak mencari gurita dan fokus membeli hasil tangkapan dari para nelayan.
Berharap pada Buka Tutup
Dua bulan pasca penutupan sementara telah berlalu. Kegiatan umpan balik data kembali digelar. Tujuannya untuk melihat perbedaan antara hasil yang didapatkan sebelum dilakukan buka tutup dan setelah dilakukan penutupan sementara. Jelas, hasil itu hanya bisa dilihat melalui data yang dipaparkan pada kegiatan umpan balik data.
Memang benar, ada perbandingan yang terjadi. Baik dari segi bobot tangkapan yang naik dibandingkan pada tangkapan yang telah di data, sebelum dilakukan penutupan sementara. Rata-rata tangkapan di atas 2 kilogram mendominasi sajian data yang dipaparkan dalam DFS. Anwar Pinous, Irham, Rinto, Henok, paling banyak mendominasi tangkapan dengan bobot yang besar.
“Rata-rata tangkapan nelayan saat diberlakukan penutupan sementara di atas 1 kilogram bahkan ada sampai dapat 4 kilogram,” papar Mamat, saat DFS berlangsung.
Saman Tose, nelayan sekaligus petani tambak, yang hadir saat itu menuturkan, memang sudah seharusnya laut Uwedikan dijaga, tentunya dengan model patroli dan pengawasan agar orang dari luar desa tidak sembarang datang dan mengambil sesuka mereka. Perlu ada aturan yang kuat.
“Ini mumpung ada pemdes saya sampaikan, patroli atau pengawasan perlu dilakukan. Jangan sampai kita menyesal kemudian hari karena laut kita tidak kita jaga,” tegas Saman, anggota KOMPAK yang dikenal dengan semangatnya menjaga laut.
Kini, nelayan dan masyarakat Uwedikan yang telah mengenal sistem buka tutup atau penutupan sementara merasakan manfaatnya. Mereka juga mengusulkan menambah luasan penutupan sementara di lokasi yang punya potensi tinggi untuk dapat ditutup kembali selama tiga bulan lamanya. Tapi dengan catatan, mereka juga ingin menambah daftar potensi perikanan yang ada di desa untuk ditutup, bukan hanya gurita saja.
“Kita kan disini memang banyak yang mencari gurita, tapi selain itu, ada teripang juga, ada ikan, juga, dan kepiting bakau juga. Bagaimana kalau kita juga yang lain seperti yang kita lakukan dengan penutupan sementara untuk gurita,” seru Anwar pada sela-sela diskusi saat DFS berlangsung.
Sontak, peserta DFS hari itu mengiyakan. Baik nelayan dan masyarakat umum bilang setuju, tapi ada juga sebagian hanya menganggukan kepalanya saja, memberi tanda setuju juga. Harapan masyarakat pada penutupan sementara sangat tinggi, karena hasil yang mereka lihat dan rasakan sendiri. Keinginan mereka mendapatkan bobot tangkapan yang lebih besar mereka dapatkan melalui penutupan sementara dan ekosistem laut juga terjaga.
Namun, masalah terbesar yang dihadapi sebenarnya bukanlah orang yang dari luar datang menjarah sumber daya alam di desa Uwedikan, tapi persoalan keegoisan setiap orang yang ingin mengambil lebih banyak tanpa menyisakan yang lain dan mengambil keuntungan sendiri.
Kini, nelayan, masyarakat, beserta KOMPAK, akan diperhadapkan kembali dengan penutupan sementara. Mereka ingin mendiskusikan kembali untuk waktu penutupan, apakah akan memakai waktu yang lama pada bulan November atau menyepakati bulan lainnya untuk memulai penutupan sementara? Selain waktu, aturan main dan apa saja yang akan dilakukan dalam patroli akan mereka perbaiki, dan meminta dukungan dari pemdes agar terlibat dalam pertemuan yang akan mereka buat nanti.
“Kita harus sepakat juga terkait aturan nanti yang akan kita buat, belajar dari pengalaman sebelumnya, itu landasan yang akan jadi pembelajaran kita untuk penutupan sementara yang akan dilaksanakan,” ujar Jon.
Para nelayan dan anggota KOMPAK juga masih bersepekat untuk menutup sementara gurita saja, dan bisa berkembang lagi jika proses pengelolaan atau tata aturan penutupan sementara telah rampung dan dipahami secara bersama oleh masyarakat luas.
“Bukan cuma gurita, lobster, teripang, kepiting, dan ikan lainnya bisa dilakukan buka tutup ini. Asalkan kita mantapkan dulu aturannya, karena kemarin saja masih ada bolong-bolongnya,” tutup Anwar.***
*Penulis adalah anggota JAPESDA yang melakukan pendampingan dalam program “Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan yang Berbasis Masyarakat” di Desa Uwedikan, Kabupaten Luwuk Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.