
Oleh: Ummul Uffia
JAPESDA- 5 Juni diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia, untuk kami, hari ini bukan hanya sekadar Hari Lingkungan Hidup, tapi juga hari bersejarah di mana Japesda berdiri di tahun 2000 silam tepat di tanggal yang sama. Ya! Japesda baru saja memeringati hari ulang tahun yang ke 25 tahun, tepat di perayaan hari lingkungan.
Ulang tahun tentu tidak lengkap jika tanpa perayaan, bertempat di Desa Ilomata, perayaan ini kami buat kecil-kecilan, bersama para pendiri, para anggota, para relawan, para adik-adik, mama-mama dan papa-papa di Desa Ilomata selama dua hari.
Setelah persiapan yang cukup panjang di bulan-bulan sebelumnya, tepat di Minggu pagi, 8 Juni 2025, kami berkumpul di Kantor Japesda− persiapan, mengangkat barang-barang, pukul 09.30 kami berangkat, singgah sebentar untuk sarapan di emperan Desa Tapa, sembari menunggu teman-teman lain.
Pukul 10.00 kami memutuskan untuk lanjut, matahari berada di atas kepala, walaupun memakai kaos dan baju lapangan, rasanya tetap saja sangat panas sampai ke kulit. Berbelok kearah kanan, kami memasuki Desa Kopi, jalan masih sejuk karena tutupan-tutupan pohon di arah kiri dan kanan.
Tak lama berselang, debu mulai menganggu pandangan, deru kendaraan beroda delapan mulai terdengar. Di area kiri tanah tandus terlihat dengan alat-alat berat, di sisi jalan rumput dan pohon tertutup dengan debu.

Jalan terjal menurun dan menanjak, berbau dan berpasir, pelan-pelan motor yang kami tumpangi membelah jalan berbatu itu, sesekali kami melewati truk-truk yang sedang mengantri untuk lewat, sangat berdebu dan menganggu mata. Ini adalah area Waduk besar Bolango Ulu, salah satu dosa Jokowi dengan tajuk proyek strategis nasional.
Dengan iming-iming pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, kesejahteraan masyarakat, dan di Gorontalo tentu saja bendungan menjadi ‘pengendali’ banjir. Semoga saja demikian.
Mengambil alih lahan pertanian dan penghidupan masyarakat, Waduk Bolango Ulu mulai dikerjakan sejak tahun 2019, melintasi delapan desa dengan kebutuhan tanah sebesar 1.723 Ha− data ini dihimpun dari berita.gorontaloprov.go.id. Ketika melintas, kami melihat kompromi yang besar di masyarakat, mereka mulai hidup dengan kondisi berdebu setiap harinya, tanpa masker seperti yang saya dan teman-teman pakai, tanpa kacamata hitam juga tentunya.
Di satu waktu, ketika melewati perkampungan, tampak di sisi kiri, sekumpulan laki-laki sedang memotong hewan kurban di depan masjid, santai dan tenang dengan pisau di tangan kanan. Debu juga dengan santainya kesana kemari, melewati hidung, mata, rambut dan sela-sela kulit mereka. Hal itu tidak mengusik mereka, mereka tampak asik bercengkrama, seakan-akan tak ada masalah di sana.
Meninggalkan area waduk, mari kita lanjut ke perjalanan menuju Desa Ilomata, desa penyangga yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Melewati banyak desa, kami akhirnya sampai. Titik kumpul pertama adalah Kantor Desa Ilomata, markas kami selama di sini, barang diturunkan dan ditata dengan baik.
Setelahnya kami berpindah ke rumah Ishak Rauf, di sana pisang goreng, kopi dan teh hangat sudah menunggu. Kami makan dengan hikmat, beberapa yang lain memilihi untuk duduk di depan rumah, ingin menikmati udara segar di desa kecil ini.
“Pisang ini hasil dari kebun percontohan,” ujar Ishak tersenyum.
“Manis sekali Podu ee,” balas Dewi Biahimo. Podu adalah panggilan untuk Ishak Rauf, panggilan ini biasanya disematkan untuk seorang kepala dusun.
Kami otomatis mengangguk, sepakat dengan pernyataan itu.
Kebun percontohan yang disebutkan oleh Ishak, adalah kebun percontohan agroforestry yang mereka tanam bersama-sama dengan Japesda di Februari tahun 2024. Petani Desa Ilomata saat ini sedang gencar-gencarnya menanami lahan jagung mereka dengan metode terasering atau agroforestry. Lahan Ishak adalah yang pertama, setelahnya mereka (petani) bergantian dari satu lahan ke lahan lain, bersama-sama membersihkan dan bersama-sama menanam.

Kembali lagi ke siang hari di rumah Ishak, saat itu jam menunjukkan pukul 12.30 Wita. Tak lama meja bagian ruang tamu, mulai diisi dengan makan berat, sayur, ikan dan macam-macam pelengkap yang lain. Kami makan dengan ceria, karena nasi kuning pagi tadi tentu tidak cukup bertahan hingga siang hari. Selepas makan kami menuju ke lokasi kegiatan pertama, sebuah sungai yang mengalir ke ladang dan rumah-rumah warga. Kami berbincang di sana, melakukan refleksi kerja-kerja japesda selama 25 tahun belakangan.
“25 tahun tentu adalah waktu yang panjang, layaknya manusia kita (Japesda) sudah memasuki masa remaja menuju dewasa, kita harus melihat lagi kebelakang, bagaimana kerja-kerja Japesda selama ini,” ujar Christopel Paino melalui megaphone.
Di sungai ini, kami duduk setara, mencari tempat nyaman di antara batu-batu dan memerhatikan satu sama lain, semua orang bisa bicara, tak kecuali Parman Mooduto, seorang petani dari Desa Ilomata yang awalnya ragu dengan keberadaan Japesda di desa mereka.
“Tidak gampang mengubah ladang jagung kami dengan model pertanian yang dikenalkan oleh Japesda, awalnya saya skeptis, bisa saja ini hanya proyek-proyek seperti yang sudah-sudah. Lama kelamaan saya merasa ini adalah model pertanian yang bersifat jangka panjang, saya menghitungnya dengan umur anak saya, ketika dia masuk sekolah, kami tidak akan kesulitan, karena ada ladang yang menghidupi kami,” Parman bercerita mengenai pertanian cerdas iklim dengan pendekatan agroforestry yang mereka lakukan bersama Japesda.
Perbincangan berjalan syahdu, di tengah sungai dan alam Ilomata yang sejuk, kami membahas hal-hal nostalgia dan pandangan-pandangan untuk Japesda di masa depan. Tak lupa juga kami melakukan evaluasi kerja Japesda di lapangan. Hal-hal keliru yang sudah dilakukan dan inovasi-inovasi baru setelahnya.
“Japesdaaaaaa,” teriak Ain Lapolo.
“Tumbuh bersama, lestari selamanya,” teriak kami serempak. Teriakan kami mengakhiri sesi sungai hari itu, kami kembali ke kantor desa, istirahat sebentar dan menyiapkan bahan-bahan untuk kegiatan selanjutnya.

Kegiatan selanjutnya adalah bermain bersama adik-adik di desa, kami membagi kelompok, adik-adik kami bagi pula sesuai jumlah kelompok. Di kelompok ini, kami bekali dengan gambar tumbuhan kosong yang nantinya akan dimozaik menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitar. Hasilnya ada yang menggunakan daun-daun kering, serabut kelapa sampai ranting dan akar-akar pohon. Tentu saja, sesi menyenangkan ini kami tutup dengan mengambil video dan foto bersama.
Sesi terakhir di hari ini, Minggu, 8 Juni 2025, kami tutup dengan bertukar kado dan membakar sate bersama warga desa di malam hari.
Esoknya, Senin, 9 Juni 2025, Senin biasanya menjadi hari yang menakutkan, hari awal kerja setelah libur di hari Minggu. Tapi tidak dengan kami, pukul 06.00 Wita, sirene megaphone meraung, kami bergegas bangun dan mengambil tempat di lapangan, di depan kami ada Chris dan Della, serta sebuah pengeras suara. Tak lama musik mengalun, ayo senam pagi! Menikmati udara yang sejuk dan kolak kacang hijau setelahnya sebagai kudapan pagi hari. Setelah senam kami bermain per kelompok, bermain susun kata, mengumpul balon menggunakan selang dan terakhir bermain orienteering.
Lelah menyusuri ladang dan sungai, kami membersihkan diri, mandi bersama-sama di sungai, menghabiskan waktu dengan bercanda dan saling melempar botol sampo. Setelah itu, kami harus kembali lagi ke rumah Ishak untuk makan siang, kami harus mengisi tenaga, karena setelah ini, kami akan kembali melewati Waduk Bolango Ulu, beserta debu, jalan berbatu dan alat beratnya yang berlalu lalang. **