
GORONTALO – Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) baru saja mengadakan kegiatan penguatan kapasitas bertajuk “Refleksi dan Penguatan Pendampingan Masyarakat”. Kegiatan yang berlangsung pada 8-9 November 2025 ini dikhususkan bagi para pendamping yang bekerja langsung di garis depan advokasi di Provinsi Gorontalo dan Sulawesi Tengah.
Direktur Japesda, Nurain Lapolo, mengungkapkan komitmen organisasi yang telah dijaga sejak 2000. “Inti dari perjuangan kami adalah memastikan masyarakat terlibat penuh dalam keputusan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Para pendampinglah yang menjadi penggerak komitmen ini di desa-desa,” ujarnya.
Menutup pelatihan, Nurain menyampaikan, “selama 25 tahun, kerja advokasi dan pendampingan kami telah menghadapi banyak tantangan. Pelatihan ini adalah momen untuk merefleksikan apa yang sudah dilakukan dan sejauh mana dampak yang dihasilkan, serta memperkuat strategi menghadapi konflik, dan menemukan solusi atas masalah di lapangan. Semoga ini menjadi bahan bakar baru untuk perjalanan kita ke depan.”
Tantangan pendamping masyarakat

Filsuf Yunani kuno, Aristoteles mengkategorikan manusia sebagai makhluk sosial dan politik atau zoon politicon, artinya setiap orang punya kepentingan dan tujuan yang berbeda-beda, serta di mana ada interaksi sosial, maka bisa berpotensi terjadi konflik. Perbedaan inilah yang sering memunculkan gesekan atau konflik sosial di tengah masyarakat.
Di wilayah pesisir, tantangan yang dihadapi oleh pendamping masyarakat jauh lebih kompleks dibandingkan dengan daerah daratan. Hal itu dipengaruhi oleh status laut sebagai common property open access dengan kata lain merupakan kepemilikan bersama dan akses terbuka oleh siapa saja termasuk industri perusahaan seperti yang ada di Desa Uwedikan, Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai. Pendamping lapangan sering mendapati adanya limbah minyak di laut serta adanya dugaan indikasi kerusakan pada ekosistem padang lamun dan juga mangrove yang turut mempengaruhi pendapatan nelayan gurita.
“Program perikanan gurita ini kan sudah berlangsung sejak tahun 2020. Praktik buka tutup area tangkap sudah kami jalankan sejak tahun 2021 sampai sekarang. Masalah yang paling sering kami dapati adalah praktik illegal fishing, dan juga keberadaan perusahan tambak. Saat ini kami mendorong adanya pengesahan peraturan desa,” kata Indhira Faramita Moha, Sabtu (8/9/2025).

Selain itu, di Desa Kadoda, Kecamatan Talatako, Kabupaten Tojo Una-Una juga merupakan wilayah dampingan Japesda sejak tahun 2021 dengan mendorong perikanan gurita berkelanjutan. Meskipun masuk dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT), masalah yang dihadapi justru praktik illegal fishing atau penangkapan ikan dengan praktik ilegal yang merusak ekosistem laut; seperti penggunaan bom dan juga kompresor.
“Karena laut itu adalah open access membuat kami mendorong pengesahan peraturan desa sebagai acuan hukum terhadap nelayan dan juga penerapan praktek perikanan gurita yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.” terang Titania Aminulah, pendamping lapangan di perairan Togean.
Di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo juga mengalami nasib yang sama seperti yang terjadi di Desa Uwedikan dan juga Desa Kadoda. Praktek illegal fishing penggunaan bahan peledak oleh nelayan.
“Saat ini kami optimalkan sosialisasi kepada para nelayan,” kata pendamping lapangan Torosiaje, Ummul Uffia.

Konflik tidak hanya terjadi di pesisir. Di Desa Ilomata, Kecamatan Bulango Ulu, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Zainudin pendamping lapangan, menghadapi ancaman perambahan dan penebangan liar. Selain mendorong agroforestry dan terasering sejak tahun 2022, dirinya juga rutin melakukan patroli di dalam kawasan konservasi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW).
“Tantangan yang saya hadapi di desa, tidak seperti teman-teman yang pendamping di wilayah pesisir. Kami rutin melakukan patroli di dalam hutan. Dan yang kami dapati aktivitas perambahan hutan, lalu illegal logging. Kalau soal pertanian tentu salah satu hambatan adalah ketersediaan bibit untuk petani,” jelas Zain.
Isu utama yang dihadapi di lapangan berkutat pada konflik antara masyarakat pesisir atau di kawasan terestrial seringkali berakar dari adanya perebutan ruang dan sumber daya. Penyebabnya pun beragam mulai dari aktivitas industri, pariwisata, serta pencemaran akibat eksploitasi sumber daya alam yang mengancam kehidupan nelayan dan petani. Konflik juga biasanya terjadi antara nelayan versus nelayan atau petani versus petani serta konflik vertikal dengan pemangku kepentingan yang lebih kuat.

Melalui pelatihan ini, Japesda mempertajam peran strategis para pendamping, tidak hanya sebagai penggerak masyarakat, mereka juga dibekali keterampilan untuk mengidentifikasi akar masalah sosial, dan mendorong penyelesaian konflik yang partisipatif serta menjembatani antara masyarakat dengan pemerintah.
Pelatihan ini tidak hanya diikuti oleh pendamping, tetapi juga melibatkan petani penggerak dari Desa Ilomata, siswa jurusan kehutanan dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Pulubala, dan mahasiswa magang Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Negeri Gorontalo, menandakan upaya Japesda dalam menyiapkan generasi baru para penjaga keseimbangan alam.*

