Nelayan Desa Torosiaje saat memotong limbah botol oli, untuk bahan dasar pembuatan alat pancing gara-gara atau umpan mainan gurita. Foto: Jalipati Tuheteru
Penulis: Jalipati Tuheteru
Sampah merupakan suatu bahan yang tak lagi dimanfaatkan, yang diproduksi dari hasil aktivitas manusia maupun alami. Material sampah dihasilkan dari produk rumahan, perkantoran perusahaan, pertanian, rumah sakit, pasar dan berbagai aktivitas lainya. Sampah juga dianggap tidak menguntungkan bagi kebanyakan masyarakat, baik secara ekonomis maupun manfaatnya.
Produksi sampah kian hari kian mengkhawatirkan, baik bagi keberlangsungan lingkungan maupun biodiversitas lain. Di Indonesia sendiri, sampah menjadi permasalahan klasik, karena masih banyaknya daerah yang belum mampu menangani permasalah tersebut. Tak hanya di Indonesia, sampah juga menjadi permasalahan di hampir seluruh belahan dunia.
Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, taraf kehidupan penduduk pun kian meningkat. Indikator pertumbuhan ekonomi ditunjukkan dengan tren peningkatan kegiatan produksi dan konsumsi masyarakat. Sehingga peningkatan kegiatan produksi dan konsumsi akan berdampak pada peningkatan jumlah, jenis, dan keberagaman karakteristik timbunan material sampah.
Mengacu data laut Indonesia atau Indonesia National Plastic Action Partnership (NPAP) produksi sampah laut Indonesia mencapai angka 650 ribu ton. Sedang menurut World Bank sampah di Indonesia berjumlah 201 hingga 552 ribu ton.
Sementara data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat jumlah sampah di Indonesia mencapai 270-590 ribu ton. Selain itu, total timbunan sampah di laut menurut data Pojok Iklim mencatat, pada tahun 2018 mencapai 615.674,63 ton, tahun 2019 mencapai 566.074,94 ton dan tahun 2020 mencapai 521.275,06 ton.
Walaupun menurut data Pojok Iklim menunjukkan tren yang menurun, namun produksi material sampah di Indonesia masih cukup tinggi. Dilihat dari jumlah produksi sampah yang ada, maka sampah merupakan ancaman terbesar bagi lingkungan, makhluk hidup termasuk kita manusia itu sendiri.
Untuk bisa menangani dan mencegah permasalahan produksi sampah yang semakin meningkat setiap tahunya. Maka semua elemen stakeholder baik pemerintah pusat maupun daerah, pihak swasta, elemen non pemerintah dan masyarakat perlu memiliki strategi khusus dalam penanganan dan pengelolaan sampah yang baik dan optimal. Dengan harapan jumlah produksi sampah dapat ditekan dengan maksimal dari tahun ketahun.
Salah satu strategi yang dilakukan oleh banyak negara, sampai dengan hari ini menggunakan pendekatan atau metode 3R atau Reuse (mengurangi), Reduce (menggunakan), dan Recycle (daur ulang). Pengelolaan sampah dengan metode 3R ini sudah banyak dilakukan oleh berbagai komunitas masyarakat di banyak tempat, seperti membikin kerajinan berbahan dasar sampah. Banyak jenis kerajinan yang dihasilkan dari limbah sampah seperti pembuatan kerajinan pot bunga, tempat hiasan rumah, dan lain sebagainya.
Selain itu, metode 3R juga membutuhkan kreatifitas masyarakat sehingga dapat memanfaatkan limbah sampah, agar memiliki nilai ekonomis dan memiliki manfaat, tertentu dapat dimanfaatkan dalam kehidupan dan aktivitas sehari-hari. Sehingga edukasi kesadaran dan pemanfaat limbah sampah harus dilakukan oleh pelbagai pihak.
Di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo misalnya, nelayan lokal memiliki cara kreatif dalam memanfaatkan limbah sisa botol oli. Material limbah botol oli dimanfaatkan sebagai alat pancingan atau umpan tiruan untuk menangkap gurita, nelayan Desa Torosiaje mengenal dengan nama gara-gara, atau umpan tiruan yang berbentuk kepiting.
Menurut beberapa nelayan lokal Desa Torosiaje, aktivitas menangkap Gurita dengan alat gara-gara yang dibuat dari limbah botol oli itu dilakukan sejak 2007 silam. Berawal dari percakapan sesama nelayan yang berasal dari Kendari, Sulawesi Tengah, mereka (nelayan Desa Torosiaje) mulai mengenal dan merangkai alat tangkapnya sendiri hingga saat ini.
Membuat alat tangkap ini cukup sederhana dan mudah, bahkan bahannya pun cukup mudah didapatkan, diambil sekitar lingkungan pemukiman, sisa dari limbah sampah dari warga. Untuk membuat satu alat tangkap gurita atau kepiting membutuhkan 5-6 biji botol oil yang berukuran sedang atau ukuran 1 liter. Kemudian kaleng oli tersebut dipotong dengan ukuran kecil-kecil dan dimasukkan semuanya dalam wajan untuk dipanaskan hingga sedikit mencair.
Potongan-potongan plastik yang sudah sedikit mencair itu kemudian dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai kepala kepiting. Setelah itu, didinginkan selama 45 menit hingga 1 jam untuk diukir kembali, hingga benar-benar terlihat seperti kepala kepiting. Setelah diukir, kemudian dipasang tasi dengan nomor 250 yang berjumlah 5 ujung dengan ukurang 15-20 cm. Tasi ini berfungsi sebagai kaki yang akan dipasang sebanyak 2 ujung di depan dan 2 ujungnya lagi di bagian belakang serta satu ujung di bagian atas.
Tasi berfungsi sebagai kaki pada alat tangkap ini, tasi juga berfungsi untuk dipasang beberapa mata pancing sebagai alat pengail agar gurita tidak terlepas saat menghampiri dan menyentuh alat tangkap tersebut. Mata pancing yang digunakan yaitu pancing berukuran 8 dengan jumlah sekitar 10 hingga 12 biji mata kail. Serta giring-giring dan potongan sendok makan dengan jumlah masing-masing 4-5, yang akan dipasang pada bagian ujung di masing-masing kaki alat tangkap mainan tersebut.
Menurut nelayan pembuatan alat tangkap dengan memanfaatkan limbah masyarakat cukup bagus, karena tidak repot mencari bahan dasarnya. Selain itu alat pancing gara-gara tidak mengeluarkan cukup banyak biaya terlebih tidak memakan waktu dalam membuatnya. Berbeda dengan alat tangkap gurita yang terbuat dari kayu, nelayan harus membeli cat untuk mewarnai alat tangkap beberapa bahan lain, sehingga memakan biaya kurang lebih 100 sampai 150 ribu per 1 alat tangkap. Sedangkan gara-gara yang terbuat dari kaleng oli bekas cukup terjangkau, nelayan hanya mengeluarkan biaya sekitar 50 ribu sampai 75 ribu saja. Selain murah dan terjangkau alat pancing gara-gara cukup ramah lingkungan dan menyumbang pengurangan limbah sampah di lingkungan sekitar.*
Penulis adalah anggota Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (JAPESDA) yang berkegiatan sebagai pendamping di Desa Torosiaje, Kabupaten Pohuwato.