
TOROSIAJE- Langkah kaki berpadu dengan derit papan kayu di jembatan itu. Kayu-kayu ini menghubungkan ratusan rumah-rumah mengapung di atas laut dan membentuk pola sedemikian rupa. Inilah Desa Torosiaje, sebuah desa dengan kampung terapung, yang dihuni oleh Suku Bajo. Kampung ini sudah ada sejak tahun 1901.
Nama Desa Torosiaje diambil dari kata Toro yang berarti tanjung dan Siaje yang berarti persinggahan, sebagai salah satu suku pengembara (sea gypsy), suku ini awalnya menjadikan Torosiaje sebagai tempat persinggahan. Namun di tahun 1901, mereka mulai menetap dan hidup di atas perahu. Hingga di tahun 1930, mereka mulai membangun rumah baboroh.
Material rumah bobaroh tidak untuk hunian jangka panjang karena dibangun dengan sederhana menggunakan belahan pohon dan dinding terbuat dari bambu, ukuran baboroh juga tergolong lebih kecil. Setelah baboroh mereka mengganti hunian menjadi papondok, kedua jenis rumah ini dibangun dengan material yang sama, hanya saja berbeda dalam hal ukuran.
Setelah beberapa kali melakukan adaptasi, akhirnya Suku Bajo mulai mendirikan rumah-rumah dengan tiang penyangga yang kokoh. Hal ini menjadi tanda bahwa mereka telah memutuskan untuk tinggal dan bermukim di tempat tersebut. Walaupun sebagian dari mereka lebih memilih untuk bermukim di daratan, masih banyak yang memilih tinggal dan beraktifitas di atas air.

Rumah-rumah kokoh ini hampir sama dengan rumah baboroh maupun papondok, hanya saja tiang rumah diganti menggunakan kayu gofasa oleh masyarakat Desa Torosiaje kayu ini disebut ‘kayu darat gopasa’. Salah satu kayu endemik Sulawesi yang tahan akan perubahan iklim. Kayu ini oleh masyarakat Sulawesi biasanya digunakan sebagai bahan utaman dalam pembuatan kapal. Hal ini didukung oleh penelitian Hernita Paputungan, dkk di tahun 2022.
Kayu gofasa akan ditanam dalam kedalaman 50 meter, dengan diameter kayu sebesar 2,5 sentimeter sampai 3 sentimeter. Tinggi kayu yang digunakan akan disesuaikan dengan kedalaman air laut di mana rumah akan didirikan. Menurut Husein Onte, salah satu masyarakat Suku Bajo yang mendiami Desa Torosiaje, tinggi tiang penyangga ini nantinya akan diganti sesuai dengan kebutuhan, mengingat cuaca ekstrem yang mengakibatkan naiknya permukaan laut.
“Biasanya kalau air pasang, tingginya bisa sampai menyentuh lantai rumah. Jadi tiang rumah 2,75meter akan diganti menjadi 3,5 meter,” ujar Husain Onte ketika kami sedang berjalan-jalan sore di perkampungan Desa Torosiaje, Sabtu, (15/03).
Menurut Ison Pasandre, yang juga salah satu warga lokal di sana, kayu gofasa sudah diuji dengan beberapa jenis kayu yang lain, yaitu: kayu bakau yang hanya mampu bertahan satu tahun, sedangkan kayu jati, besi, dan mahoni hanya bertahan selama lima tahun. Kayu-kayu ini memiliki ketahanan rendah terhadap cuaca dan mudah lapuk dimakan cacing tambelo, cacing air payau pemakan kayu.
“Tambelo ini tidak akan terlihat dari luar, tiba-tiba saja kayu akan hancur dan rapuh dari dalam,” ucap Ison sembari mengisap sebatang rokok di tangannya.

Walaupun memiliki ketahanan cuaca yang rendah, kayu bakau, jati, besi dan mahoni masih digunakan dalam pembuatan dinding, lantai dan tiang-tiang rumah. Karena menurut Ison, empat jenis kayu ini akan bertahan lama, selama kayu-kayu tersebut tidak terkena matahari langsung dan terendam air. Empat jenis kayu ini, oleh masyarakat Suku Bajo juga digunakan sebagai tiang dan lantai untuk jembatan penghubung mereka.
Malam itu, Minggu (16/03) saya terlibat pembicaraan yang panjang dan nostalgia bersama Ison. Sembari menerawang, Ison mulai bercerita mengenai rumahnya, tempat di mana kami duduk saat itu. Rumah ini didirikan di tahun 2010. Tiang penyangga rumah menggunakan kayu gofasa dengan diameter 3 sentimeter dan ketinggian 2,5 meter. Kala itu, Ison bersama teman-temannya berbondong-bondong menggali lubang, menanam 0,5 meter bagian kayu ke dalam tanah dan 2 meter dibiarkan berdiri di atas laut.
Tiang-tiang dalam rumah Ison dibagun menggunakan campuran antara kayu jati dan mahoni, sementara dinding dan lantai menggunakan kayu bakau.
“Kayu hitam yang kamu injak itu, itu kayu bakau, rumah ini berdiri sebelum ada larangan penggunaan kayu bakau,” lanjut Ison lagi.
Tradisi gotong-royong di masyarakat Desa Torosiaje adalah salah satu identitas dari suku ini, hal ini dapat dilihat dari bagaimana masyarakat desa akan bersama-sama memperbaiki jembatan mereka. Kayu-kayu pada jembatan akan diganti secara berkala, tanpa menunggu jembatan tersebut rapuh dan putus.
“Semua akan dilakukan bersama-sama, kesadaran gotong royong ini sudah ada sejak dulu kala,” pungkasnya.**