Penulis: Findriani Mahmud/JAPESDA
April 2021, kali pertama saya datang ke Torosiaje, desa yang terkenal dengan masyarakat Suku Bajo, salah satu entitas yang tinggal dan hidup dari hasil laut. Hampir segala aktivitas mereka lakukan di laut. Makan, minum, mencuci, memasak, bermain, dan lain sebagainya. Semua hal yang umumnya saya kira hanya bisa dilakukan di daratan.
Perahu merupakan alat transportasi utama di Desa Torosiaje. Selain untuk mencari penghidupan dari hasil laut, mereka memanfaatkan perahu sebagai sarana transportasi. Pada masa-masa awal menjajaki desa ini, ada yang unik dan membuat saya penasaran, yakni perihal perahu-perahu yang saya temui di sini: kebanyakan tidak memakai cadik, atau biasa juga disebut sema-sema.
Mengapa perahu Bajo tidak memakai cadik?
Umumnya, perahu-perahu nelayan menggunakan cadik. Semestinya begitu. Sebab, cadik berfungsi untuk menjaga kestabilan perahu agar tidak terbalik saat diterpa gelombang. Selama dua bulan lebih saya berada di sini, saya tidak menemukan jawaban pasti dari rasa penasaran saya itu. Beberapa orang yang saya tanyai hanya memberikan jawaban yang sebenarnya tidak menjawab.
“Sudah dari dulu begitu,” ujar mereka.
Sampai suatu sore, usai melakukan pendataan gurita, saya berkunjung ke salah satu tokoh adat di Torosiaje. Kamila Hasan, namanya. Dia menyambut baik kedatangan saya. Sambil melihat tukang ojek perahu yang berlalu lalang mengantar penumpang, dia mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan saya, penasaran yang lama berenang di kepala.
Menurut Pak Kamil, perahu tanpa cadik itu bermula saat nenek moyang Suku Bajo menemukan satu batang pohon utuh, yang kemudian dibentuk dan diukir menjadi satu buah perahu. Pada tahun 1960-an, perahu tanpa cadik dikenal dengan nama perahu sope, sedangkan perahu yang menggunakan cadik dikenal dengan nama perahu sengkeda.
Selain tidak memiliki cadik, ciri lain dari perahu sopek adalah ukurannya yang lebih luas. Berbeda dengan perahu sengkeda, yang lebih dalam dan luasannya lebih kecil, sehingga membutuhkan cadik sebagai penyeimbang.
Pak Kamil mengatakan bahwa dirinya adalah keturunan Raja Tojo Una-una. Sewaktu kecil, dia dan keluarga menggunakan perahu sope untuk pergi ke Tojo Una-una, bersama tiga hingga empat orang penumpang. Selain itu, perahu sopek juga dimanfaatkan untuk mengangkut bahan makanan pokok dari pulau-pulau lain menuju Torosiaje. Seperti sagu, beras, dan jagung.
Nenek moyang suku bajo sering membakar perahu untuk menurunkan kadar air, dan mematikan rayap atau tapelo yang sering menyebabkan perahu menjadi berlubang.. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar perahu tidak cepat rusak dan bertahan lama. Proses pembakaran ini dilakukan setiap dua minggu sekali.
Bagi mereka, dahulunya perahu sope tidak hanya sekadar alat transportasi. Lebih dari itu, perahu adalah rumah. ***
Penulis adalah enumerator JAPESDA untuk program “Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan yang Berbasis Masyarakat” di Desa Torosiaje.